( Historical and Comparative Research Approach )
Atam
Ruba’i Hamid
A.
PENDAHULUAN
Studi
Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies, secara sederhana
dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan
agama Islam, dengan perkataan lain usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui
dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau hal-hal
yang berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah,
maupun praktek-praktek pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.[1]
Usaha
mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan
oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang
diluar kalangan umat Islam. Studi keIslaman dikalangan umat Islam sendiri
tentunya sangat berbeda tujuan dan motifasinya dengan yang dilakukan oleh
orang-orang diluar kalangan umat Islam. Dikalangan umat Islam, studi keIslaman
bertujuan untuk mendalami dan memahami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar
mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar, sedangkan diluar
kalangan umat Islam, studi keIslaman bertujuan untuk mempelajari seluk beluk
agama dan praktek keagamaan yang berlaku dikalangan umat Islam, yang
semata-mata hanya sebagai sebuah ilmu pengetahuan.[2]
Rentang waktu masa sejak manusia ada hingga sekarang merupakan
rentang yang sangat panjang sehingga para ahli sejarawan sering mengalami
kesulitan untuk memahami masalah-masalah yang muncul dalam sejarah kehidupan
manusia. Periodisasi adalah pembabakan waktu yang berurutan sesuai dengan waktu
kejadian. Periodisasi dalam sejarah adalah tingkat perkembangan masa dalam
sejarah, sebagai usaha untuk mempermudah pemahaman dan pembahasan sejarah
kehidupan manusia, dan dalam hal ini maka
para ahli kemudian menyusun suatu periodisasi sejarah atau pembabakan masa
sejarah.[3]
Periodisasi dibuat
dengan tujuan agar dapat diketahui ciri khas atau karakteristik kehidupan
manusia sehingga mudah dipahami. Dalam periodisasi ini, akan diketahui
perkembangan kehidupan manusia, kesinambungan antara periode yang satu dengan
periode berikutnya, terjadinya fenomena yang berulang dan perubahan yang
terjadi dari periode yang awal sampai pada periode berikutnya. Periodisasi ini
dalam sejarah dilakukan oleh masyarakat, bangsa, atau negara di seluruh dunia,
karena pada setiap periode sejarah terdapat rangkaian- rangkaian peristiwa atau
kejadian dengan jumlah yang sangat banyak dan waktu yang sangat panjang.[4]
Berkenaan dengan periodesasi filsafat dan ilmu pengetahuan
ini, L.W.H. Hull (1950) dalam bukunya “History
and Philosophy of Science”, menjelaskan bahwa setidaknya sejarah
filsafat dan ilmu pengetahuan dapat dibagi dalam beberapa periode,[5]
yaitu :
1.
Periode Filsafat Yunani (Abad 6 SM-0
M)
Tokoh pada periode ini diantaranya Thales, seorang ahli filsafat, astronomi dan geometri yang dalam
pengembaraan intelektualnya menggunakan pola deduktif, Aristoteles seorang tokoh filsafat dan ilmu empiris yang menggunakan
pendekatan induktif, Phytagoras
menggunakan pendekatan mistis dan matematis dalam aritmatika dan geometrinya,
dan Plato seorang ahli ilmu rasional
dan filsafat yang menggunakan pendekatan deduktif. Pada periode ini para
filosof dan intelek pada masa itu menggunakan dua metode yaitu metode
filosofis deduktif dan filosofis induktif.
2.
Periode Kelahiran Nabi Isa (Abad 0-6
M).
Periode ini diawali dengan adanya
pertentangan antara para filosof dengan kekuatan gereja yang diwakili oleh
para pastur dan para raja yang pro kepada gereja. Sehingga pada masa ini
filsafat mengalami kemunduran. Para raja membatasi kebebasan berfikir sehingga
filsafat seolah-olah telah mati suri. Ilmu pengetahuan menjadi beku, kebenaran
hanya menjadi otoritas gereja, hanya gereja dan para raja yang berhak
mengatakan dan menjadi sumber kebenaran.
3.
Periode Kebangkitan Islam (Abad 6-13
M) / Zaman Keemasan
Pada periode ini dunia Kristen
Eropa sedang mengalami masa kegelapan, diseumpamakan dengan ” bangkai raksasa yang sedang membusuk “,[6]
sementara itu dunia Islam tengah mengalami masa keemasan.
4. Periode Kebangkitan Eropa (Abad
14-20) / Reinasans
Pada periode ini peradaban Eropa
mengalami kebangkitan, sementara dunia Islam mengalami kemunduran. Pada masa
ini muncul tokoh-tokoh intelektual diantaran Gerard Van Cromona yang
menyalin buku Ibnu Sina The canon of medicine , Fransiscan Roger Bacon,
yang menganut aliran pemikiran empirisme dan realisme berusaha menenentang
berbagai kebijakan gereja dan penguasa pada waktu itu, sehingga
menyebabkan perlawanan terhadap gereja dan raja yang menindas terus
berlangsung, revolusi ilmu pengetahuan makin gencar dan meningkat, Newton
dengan teori gravitasinya, John Locke yang menghembuskan perlawanan kepada
pihak gereja dengan mengemukakan bahwa manusia bebas untuk berbicara, bebas
mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak untuk merdeka, hak berfikir,
begitu juga J.J .Rousseau yang mengecam
penguasa melalui bukunya yang berjudul Social Contak.
4.
Periode Kontemporer (Adad 21 –
sekarang)
Periode ini merupakan era tahun
terakhir hingga saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan di periode kontemporer ini diantaranya teknologi
rekayasa genetika (genetic engineering), teknologi informasi, teori partikel elementer.
Islamic Studies sebagai bidang kajian dan penelitian ilmiah
menjadikan Alqur’an dan Hadits sebagai obyek kajian yang fundamental. Alquran
dan hadits dikembangkan oleh umat Islam dalam spektrum seluas-luasnya, prinsip
semua ilmu dalam pandangan umat Islam terdapat dan bersumber dalam alquran,
alquran dan hadits menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dengan menekankan pada kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu,
pencarian ilmu dalam segi apapun pada akhirnya bermuara pada penegasan tauhid.
Perkembangan ilmu pengatahuan di dunia Islam tidak terlepas
dari pengaruh perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Filsafat dan
ilmu pengetahuan Yunani masuk kedalam Islam lebih banyak melalui Irak dengan
Bagdad sebagai pusat peradabannya. Disanalah timbul gerakan penterjemahan
buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab atas dorongan Khalifah Al Mansyur, Harun
Al Rasyid dan dilanjutkan oleh Al Ma’mun
dengan mendirikan Bait Al Hikmah sebagai pusat penterjemahan dan kegiatan
keilmuan pada masa itu.[7]
Selanjutnya dalam perkembangan ilmu dan filsafat di dunia
Islam terdapat upaya rekonsiliasi yaitu mendekatkan dan mempertemukan dua
pandangan yg berbeda antara pandangan filsafat Yunani Kuno dan pandangan agama
Islam yang sangat ekstrim bahkan berbenturan. Dan faktor penunjang keberhasilan
Islam dalam menemukan dan mengembangkan filsafat dan ilmu pengetahuan ini
adalah karena adanya aktifitas penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani, Persi
dan India ke dalam bahasa Arab yang kegiatan ini didukung oleh penguasa masa
itu Dinasti Bani Abbasiyah, yang juga menjadikannya bahasa Arab sebagai bahasa
resmi negara dan bahasa pemersatu.[8]
Gerakan penterjemahan ini berlangsung selama seratus lima puluh tahun, mulai
tahun 750 sampai 900 M.[9]
Pada masa inilah stadi Islam (Islamic
Studies) mencapai
puncak peradabannya.
Seiring dengan berjalannya waktu, setelah peradaban Islam
mencapai puncaknya, kemudian perlahan dan pasti mengalami kemunduran dengan
cepat, bagaikan rembulan yang telah menjadi purnama, maka malam-malam
berikutnya pasti akan menurun dan berkurang sinarnya.[10]
Profesor Dr. George Sarton, mengatakan :
“Sebab hakiki setiap kemunduran
adalah urusan dalam, bukan urusan luar. Jika secara kebetulan kita menyaksikan
sebatang pohon tumbang lantaran amukan taufan, maka seharusnya janganlah kita mengutuk
taufan itu atas penumbangannya terhadap pohon tersebut. Semestinya ditujukan
pada pohon itu sendiri, karena kebusukan bagian dalamnya”.[11]
Demikianlah kenyataan riil perkembangan stadi Islam sampai
era kebangkitan Eropa (Reinasans), dimana kebangkitan peradaban dan ilmu pengetahuan Barat Eropa
telah menghempaskan dan merobohkan pohon peradaban Islam klasik yang memang
sudah rapuh dari dalam diri umat Islam sendiri.
Kemudian memasuki masa modern hingga era kontemporer saat
ini, umat Islam masih tertatih-tatih untuk bangkit dari keterpurukan moral,
spiritual dan intelektual. Berbagai usaha untuk keluar dari masa krisis moral,
spiritual dan Intelektual ini mulai diperjuangkan oleh gerakan pembaharu dan
pemurni Islam, diantaranya muncul Muhammad Abduh dan banyak
intelektual-intelektual Islam lainnya yang gigih menyeru umat Islam untuk
kembali pada ajaran al-Quran dan Hadis, berjuang membangkitkan umat Islam untuk
kembali menggunakan akalnya, berusaha mengikis
habis taklid agara umat Islam menemukan kembali berbagai ilmu yang berasal dari
sumber aslinya al-Quran dan hadis.
Berangkat
dari uraian tersebut diatas muncul rumusan masalah yang coba kita bangun dengan
pendekatan sejarah dan komparasi (Historical and Comparative Research Approach) yaitu suatu pendekatan untuk memahami sesuatu
dengan mempelajari sejarahnya dan untuk selanjutnya membandingkan seluruh aspek yang ada dalam sesuatu
tersebut dengan sesuatu yang lainnya, dengan demikian akan dihasilkan pemahaman
suatu yang objektif dan utuh. Atau dengan kata lain, pendekatan dengan tujuan untuk mengetahui Islamic Studies era klasik dan kontemporer dari sisi
sejarah pasang surutnya, dan bagaimana bentuk komparasi perbandingan yang dapat dibangun
dari Islamic Studies era klasik dan
kontemporer, sebagai usaha untuk memotifasi diri.
B.
STUDI ISLAM ERA KLASIK
Perkembangan
ilmu pengetahuan pada prinsipnya tidak dapat dilepaskan dari dua motif pokok
yaitu, dorongan ingin tahu dan kegunaan praktis. Kedua motif ini dalam
kenyataannya sukar untuk dipisahkan dan dipastikan mana yang timbul lebih
dahulu. Kegunaan praktis dalam praktek hidup acapkali menjadi pendorong yang
sangat kuat bagi manusia untuk menjelajahi rimba-raya pengetahuan yang belum
pernah dikuak sebelumnya. Sebaliknya dorongan ingin tahu juga dapat menggerakan
manausia untuk selalu menanyakan kekuatan-kekuatan apa yang ada dibalik
gejala-gejala alam ini sehingga kekuatan-kekuatan yang menguasai alam itu dapat
diketahui dan dapat digunakan untuk memperbaiki nasib hidup manusia dengan
bekal pengetahuan tersebut.[12]
Kemudian berbicara
mengenai pengetahuan maka kita akan bicara tentang penalaran, karena dengan
kemampuan penalaran manusia ini menyebabkan manusia mampu untuk mengembangkan
pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Hakikat dari
penalaran itu sendiri merupakan suatu proses berfikir dalam menarik kesimpulan
yang berupa pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berfikir dan bukan
karena perasaan semata, meskipun kata pascal, hatipun mempunyai logika sendiri.[13]
Pengetahuan (sains) tidak akan terlepas dari
filsafat, karena itulah filsafat diibaratkan dengan pasukan mariner yang
merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri, dan pasukan infanteri inilah
sebagai ilmu pengetahuan. Sehingga semua ilmu baik ilmu alam (naturalsca)
maupun ilmu sosial (social snac) bertolak dari pengembangannya sebagai
filsafat.[14]
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, periode
filsafat Yunani merupakan periode yang sangat penting dalam sejarah peradaban
manusia, karena pada waktu ini telah terjadi perubahan pola fikir manusia dari mitosentris yaitu pola pikir
masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena
alam,berubah menjadi pola pikir logosentris.
Perubahan pola fikir yang kelihatan sangat sederhana ini, namun sebenarnya
memiliki implikasi yang sangat besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Perlakuan terhadap alam yang selama ini ditakuti dan dijauhi berubah menjadi
didekati bahkan dieksploitasi, dan manusia yang dulunya pasif terhadap alam
berubah menjadi aktif dan memposisikan alam sebagai objek penelitian dan
pengkajian manusia. Dari proses inilah
kemudian ilmu pengetahuan berkembang dari rahim filsafat,[15]
sejak itulah filsafat dan ilmu pengetahuan terus mengalami perkembangan, mulai
dari munculnya kaum sophiis (bangsawan),[16]
era klasik Yunani, era Keemasan Islam, era kebangkitan Eropa (Reinasans) sampai
dengan era Kontemporer sekarang
ini.
Pada mulanya kata
filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, Philosophia
(philos
dan Sophia), philos berarti cinta atau sahabat,
dan Sophia
berarti kebijaksanaan, kearifan atau pengetahuan. Philosophia berarti cinta
pada kebijaksanaan atau cinta pada pengetahuan.[17] Aristoteles (384-322 SM)
membagi
filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat
teoretis dan
filsafat praktis. Filsafat
teoretis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu
pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang
ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak);
(2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik. Kemudian secara umum filsafat
diartikan sebagai upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara
sistematis, radikal, dan kritis. Filsafat dianggap sebagai sebuah proses bukan
sebagai sebuah produk, maka proses yang dilakukan filsafat adalah berpikir
kritis, yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti pronsip-prinsip
logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan
apakah informasi itu diterima atau ditolak.[18]
Dalam studi keagamaan sering dibedakan antara kata religion
dengan kata religiosity. Kata religion biasa dialih-bahasakan
menjadi agama, yang pada mulanya lebih berkonotasi sebagai kata kerja, yang mencerminkan sikap
keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Tetapi
dalam perkembangan selanjutnya, religion bergeser menjadi semacam kata benda, ia menjadi himpunan doktrin,
ajaran, serta hukum-hukum yang telah baku yang diyakini sebagai kodifikasi
perintah Tuhan untuk manusia. Proses pembakuan ini berlangsung antara lain
melalui proses sistematis nilai dan semangat agama, sehingga sosok agama hadir
sebagai himpunan sabda Tuhan yang terhimpun dalam kitab suci dan literatur
keberagamaan karya para ulama.
Sedangkan religiosity lebih mengarah pada
kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang berdasarkan nilai-nilai
keagamaan yang diyakininya.Istilah lain yang lebih tepat untuk religiositas
adalah spiritualitas.[19]
Spiritualitas lebih menekankan pada substansi nilai-nilai luhur keagamaan dan
cenderung memalingkan diri dari formalism keagamaan. Biasanya, orang yang
merespon agama dengan menekankan dimensi spiritualitasnya cenderung bersikap
apresiatif terhadap nilai-nilai luhur keagamaan meskipun berada dalam wadah
agama lain. Sebaliknya, ia merasa terganggu oleh berbagai bentuk
formalisasi agama yang berlebihan, karena hal itu dinilai akan menghalangi
berkembangnya nilai-nilai moral dan spiritual keagamaan.[20]
Oleh karena itu, kita perlu mengetahui kebenaran agama bukan hanya pada tataran
ekoterik, melainkan juga pada tataran
esoteris.
Prof.H.A.R. Gibb dalam bukunya Wither Islam mengatakan
bahwa,”Islam is indeed much more than a
system of theology; it is a complete civilization”, sebuah pengakuan
seorang ahli yang tidak dipengaruhi oleh fanatisme agama, mengatakan bahwa Islam
itu sesungguhnya lebih dari sebuah sistem kepercayaan atau agama saja, Islam adalah
satu kebudayaan atau peradaban yang lengkap.[21]
Dan para ahli juga mengakui akan jasa-jasa Islam terhadap perkembangan
kebudayaan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya.
Perkembangan ilmu pengatahuan di dunia Islam tidak terlepas
dari pengaruh perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Filsafat dan
ilmu pengetahuan Yunani masuk kedalam Islam pada masa daulah Bani Abbasiyah melalui
Irak dengan Bagdad sebagai pusat pemerintahan dan sekaligus pusat peradabannya. Gerakan penterjemahan buku-buku
berbahasa Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa Arab yang dipusatkan di Bait al Hikmah dibawah pengawasan Hunain
ibn Ishaq Al ‘Ibadi, menjadi faktor sangat penting dalam proses transfer of knowledge dan transfer of value dalam stadi Islam.
Kebangkitan
Islam ini ditandai juga dengan lahirnya ilmu-ilmu baru seperti logika, kimia,
kedokteran dan sebagainya, melalui karya-karya ilmuwan yang berupa buku-buku
ilmiah yang telah ditulis dan diterbitkan. Para ilmuwan Islam era klasik bukan hanya menguasai ilmu dan filsafat yang
mereka peroleh dari peradaban Yunani klasik saja, tetapi mereka kemudian
kembangkan dan tambahkan kedalamnya hasil-hasil penelitian mereka sendiri di bidang
ilmu pengetahuan dan hasil-hasil pemikiran mereka di bidang filsafat, sehingga
perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat semakin komplek dan alkulturatif.
Pemikiran
mengenai logika, matematika, dan metafisika misalnya, yang berawal dari
pemikiran Aristoteles yang telah
membuat kagum dan mempengaruhi pemikir Islam, namun terhadap pemikiran tersebut
para pemikir Islam tidak memungut begitu saja melainkan mengolahnya kembali
sesuai dengan ajaran Islam. Jika Aristoteles mengatakan bahwa benda
berdiri dari hule dan bentuk (form),
pemikir Islam seperti Muamar (tokoh
Mutazilah) mengatakan bahwa benda itu adalah sesuatu yang mempunyai sifat
panjang, lebar, dan kedalaman. Unsur-unsur benda bukanlah hule dan
bentuk, tetapi dari bagian-bagian yang tak terbagi. Di sinilah kita memasuki
inti teori atom di kalangan ahli-ahli pikir umat Islam.[22]
C. ILMUWAN
ISLAM ERA KLASIK
Pengaruh semangat pengembangan studi
Islam di era klasik benar-benar menghantarkan dunia ilmu pengetahuan dan
filsafat mencapai puncak keemasan. Peradaban Islam mengalami kemajuan yang
sangat luar biasa, dan seiring dengan hal tersebut muncul ilmuwan–ilmuwan
muslim yang sangat masyhur, bahkan sampai sekarang penemuan dan hasil karyannya
masih digunakan dan menjadi rujukan sebagai dasar dari perkembangan pengetahuan
modern dan kontemporer. Berikut 10 ilmuwan muslim yang sangat berjasa bagi
dunia ilmu pengetahuan:[23]
1. Ibnu Rusyd (Averroes)
1. Ibnu Rusyd (Averroes)
Abu Walid Muhammad bin Rusyd lahir
di Kordoba (Spanyol) pada tahun 520 Hijriah (1128 Masehi). Dia mendalami banyak
ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami
filsafat dari Abu Ja’far Harun dan Ibnu Baja. Ibnu Rusyd adalah seorang jenius
yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya
sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai Kadi (hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu
Rusyd dikenal sebagai Averroes dan komentator terbesar atas filsafat
Aristoteles yang mempengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan, termasuk
pemikir semacam St. Thomas Aquinas. Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk
mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah hukum.Pemikiran Ibnu Rusyd
Karya-karya Ibnu Rusyd meliputi
bidang filsafat, kedokteran dan fikih dalam bentuk karangan, ulasan, essai dan
resume. Hampir semua karya-karya Ibnu Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
dan Ibrani (Yahudi) sehingga
kemungkinan besar karya-karya aslinya sudah tidak ada.
2. Ibnu Sina (Avicenna)
2. Ibnu Sina (Avicenna)
Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga
sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter
kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Beliau juga
seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang
filosofi dan pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah Bapak Pengobatan Modern dan masih banyak lagi sebutan baginya yang
kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya
yang sangat terkenal adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine,yang dikenal juga sebagai
sebagai Qanun fi Thib yang merupakan
rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.Dia adalah pengarang dari 450
buku pada beberapa pokok bahasan besar, dan banyak diantaranya memusatkan pada
filosofi dan kedokteran. George Sarton menyebut Ibnu Sina sebagai ilmuwan
paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua
bidang, tempat, dan waktu.
3. Al-Biruni
3. Al-Biruni
Merupakan matematikawan Persia,
astronom, fisikawan, sarjana, penulis ensiklopedia, filsuf, pengembara,
sejarawan, ahli farmasi dan guru, yang banyak menyumbang kepada bidang
matematika, filsafat, obat-obatan.Abu Raihan Al-Biruni dilahirkan di Khawarazm di
Asia Tengah yang pada masa itu terletak dalam kekaisaran Persia.
Dia belajar matematika dan
pengkajian bintang dari Abu Nashr Mansur.Abu Raihan Al-Biruni merupakan teman
filsuf dan ahli obat-obatan Abu Ali Al-Hussain Ibn Abdallah Ibn Sina/Ibnu Sina,
sejarawan, filsuf, dan pakar etik Ibnu Miskawaih, di universitas dan pusat
sains yang didirikan oleh putera Abu Al Abbas Ma’mun Khawarazmshah.
Abu Raihan Al-Biruni juga mengembara
ke India dengan Mahmud dari Ghazni dan menemani beliau dalam ketenteraannya di sana,
mempelajari bahasa, falsafah dan agama mereka dan menulis buku mengenainya. Dia
juga mengetahui bahasa Yunani, bahasa Suriah, dan bahasa Berber. Dia menulis
bukunya dalam bahasa Persia (bahasa
ibunya) dan bahasa Arab.[24]
4. Al-Khawarizmi
4. Al-Khawarizmi
Nama Asli dari al-Khawarizmi ialah
Muhammad Ibn Musa al-khawarizmi. Selain itu beliau dikenali sebagai Abu
Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Yusoff. Al-Khawarizmi dikenal di Barat sebagai
al-Khawarizmi, al-Cowarizmi, al-Ahawizmi, al-Karismi, al-Goritmi, al-Gorismi dan
beberapa cara ejaan lagi. Beliau dilahirkan di Bukhara.Tahun 780-850M adalah
zaman kegemilangan al-Khawarizmi. al-Khawarizmi telah wafat antara tahun 220
dan 230M. Ada yang mengatakan al-Khawarizmi hidup sekitar awal pertengahan abad
ke-9M. Sumber lain menegaskan beliau hidup di Khawarism, Usbekistan pada tahun
194H/780M dan meninggal tahun 266H/850M di Baghdad.[25]
Dalam pendidikan telah dibuktikan
bahawa al-Khawarizmi adalah seorang tokoh Islam yang berpengetahuan luas.
Pengetahuan dan keahliannya bukan hanya dalam bidang syariat tapi di dalam
bidang falsafah, logika, aritmatika, geometri, musik, ilmu hitung, sejarah
Islam dan kimia.
5. Jabir Ibnu Hayyan / Ibnu Geber
5. Jabir Ibnu Hayyan / Ibnu Geber
Lahir di kota peradaban Islam
klasik, Kuffah (Irak), ilmuwan Muslim ini lebih dikenal dengan nama Ibnu
Hayyan. Sementara di Barat ia dikenal dengan nama Ibnu Geber. Ayahnya, seorang
penjual obat, meninggal sebagai ‘syuhada’ demi penyebaran ajaran Syi’ah. Jabir
kecil menerima pendidikannya dari raja bani Umayyah, Khalid Ibnu Yazid Ibnu Muawiyah,
dan imam terkenal, Jakfar Sadiq. Ia juga pernah berguru pada Barmaki Vizier
pada masa kekhalifahan Abbasiyah pimpinan Harun Al Rasyid.
Ditemukannya kimia oleh Jabir ini
membuktikan, bahwa ulama di masa lalu tidak melulu lihai dalam ilmu-ilmu agama,
tapi sekaligus juga menguasai ilmu-ilmu umum. “Sesudah ilmu kedokteran,
astronomi, dan matematika, bangsa Arab memberikan sumbangannya yang terbesar di
bidang kimia,” tulis sejarawan Barat, Philip K Hitti, dalam History of The
Arabs. Berkat penemuannya ini pula, Jabir dijuluki sebagai Bapak Kimia Modern.
6. Ibnu Ismail Al Jazari
6. Ibnu Ismail Al Jazari
Al Jazari mengembangkan prinsip
hidrolik untuk menggerakkan mesin yang kemudian hari dikenal sebagai mesin
robot. Al Jazari merupakan seorang tokoh besar di bidang mekanik dan industri.
Lahir dai Al Jazira, yang terletak diantara sisi utara Irak dan timur laut
Syiria, tepatnya antara Sungai tigris dan Efrat.Al-Jazari merupakan ahli teknik
yang luar biasa pada masanya.
Nama lengkapnya adalah Badi Al-Zaman
Abullezz Ibn Alrazz Al-Jazari. Dia tinggal di Diyar Bakir, Turki, selama abad
kedua belas. Ibnu Ismail Ibnu Al-Razzaz al-Jazari mendapat julukan sebagai
Bapak Modern Engineering berkat temuan-temuannya yang banyak mempengaruhi
rancangan mesin-mesin modern saat ini, diantaranya combustion engine,
crankshaft, suction pump, programmable automation, dan banyak lagi.
7. Abu Al-Zahrawi (Albucasis)
7. Abu Al-Zahrawi (Albucasis)
Abu Al-Zahrawi merupakan seorang
dokter, ahli bedah, maupun ilmuan yang berasal dari Andalusia. Dia merupakan
penemu asli dari teknik pengobatan patah tulang dengan menggunakan gips
sebagaimana yang dilakukan pada era modern ini. Sebagai seorang dokter era
kekalifahan, dia sangat berjasa dalam mewariskan ilmu kedokteran yang penting
bagi era modern ini.
Al Zahrawi lahir pada tahun 936 di kota
Al Zahra yaitu sebuah kota yang terletak di dekat Kordoba di Andalusia yang
sekarang dikenal dengan negara modern Spanyol di Eropa. Kota Al Zahra sendiri
dibangun pada tahun 936 Masehi oleh Khalifah Abd Al rahman Al Nasir III yang
berkuasa antara tahun 912 hingga 961 Masehi. Ayah Al Zahrawi merupakan seorang
penguasa kedelapan dari Bani Umayyah di Andalusia yang bernama Abbas. Menurut
catatan sejarah keluarga ayah Al Zahrawi aslinya dari Madinah yang pindah ke
Andalusia.
Al Zahrawi selain termasyhur sebagai
dokter yang hebat juga termasyhur karena sebagai seorang Muslim yang taat.
Dalam buku Historigrafi Islam Kontemporer, seorang penulis dari perpustakaan
Viliyuddin Istanbul Turki menyatakan Al Zahrawi hidup bagaikan seorang sufi.
Kebanyakan dia melakukan pengobatan kepada para pasiennya secara cuma-cuma. Dia
sering kali tidak meminta bayaran kepada para pasiennya. Sebab dia menganggap
melakukan pengobatan kepada para pasiennya merupakan bagian dari amal atau
sedekah. Dia merupakan orang yang begitu pemurah serta baik budi pekertinya.
8. Ibnu Haitham (Al Hazen)
8. Ibnu Haitham (Al Hazen)
Nama lengkapnya Abu Al Muhammad
al-Hassan ibnu al-Haitham. Dunia Barat mengenalnya dengan nama Alhazen. Ia
lahir di Basrah tahun 965 M. Di kota kelahirannya itu ia sempat menjadi pegawai
pemerintahan. Tetapi segera keluar karena tidak suka dengan kehidupan birokrat.
Sejak itu, mulailah perantauannya untuk belajar ilmu pengetahuan. Kota pertama
yang dituju adalah Ahwaz kemudian Baghdad. Kecintaannya kepada ilmu pengetahuan
membawanya berhijrah ke Mesir. Untuk membiayai hidupnya, ia menyalin buku-buku
tentang matematika dan ilmu falak.
Belajar yang dilakukan secara
otodidak membuatnya mahir dalam bidang ilmu pengetahuan, ilmu falak,
matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Tulisannya mengenai mata telah
menjadi salah satu rujukan penting dalam bidang penelitian sains di Barat.
Kajiannya mengenai pengobatan mata menjadi dasar pengobatan mata modern. Ibnu
Haitham juga turut melakukan percobaan terhadap kaca yang dibakar dan dari situ
tercetuslah teori lensa pembesar. Teori itu telah digunakan oleh para saintis
di Itali untuk menghasilkan kaca pembesar pertama di dunia. Yang lebih
menakjubkan ialah Ibnu Haitham telah menemukan prinsip isi padu udara sebelum
seorang ilmuwan bernama Tricella mengetahui hal tersebut 500 tahun kemudian.
Beberapa buah buku mengenai cahaya
yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, salah satunya
adalah Light dan On Twilight Phenomena. Kajiannya banyak membahas mengenai
senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari serta bayang-bayang
dan gerhana. Banyak buku yang dihasilkannya dan masih menjadi rujukan hingga
saat ini. Di antara buku-bukunya itu adalah Al’Jami’ fi Usul al’Hisab yang
mengandung teori-teori ilmu matemetika dan matematika penganalisaan; Kitab
al-Tahlil wa al’Tarkib mengenai ilmu geometri; Kitab Tahlil ai’masa’il al
‘Adadiyah tentang aljabar; Maqalah fi Istikhraj Simat al’Qiblah yang mengupas
tentang arah kiblat; Maqalah fima Tad’u llaih mengenai penggunaan geometri
dalam urusan hukum syarak; dan Risalah fi Sina’at al-Syi’r mengenai teknik
penulisan puisi.
9. Al-Jahiz
9. Al-Jahiz
Al-Jahiz lahir di Basra, Irak pada
781 M. Abu Uthman Amr ibn Bahr al-Kinani al-Fuqaimi al-Basri, nama aslinya.
Ahli zoologi terkemuka dari Basra, Irak ini merupakan ilmuwan Muslim pertama
yang mencetuskan teori evolusi. Pengaruhnya begitu luas di kalangan ahli
zoologi Muslim dan Barat. Jhon William Draper, ahli biologi Barat yang sezaman
dengan Charles Darwin pernah berujar, ”Teori evolusi yang dikembangkan umat
Islam lebih jauh dari yang seharusnya kita lakukan. Para ahli biologi Muslim
sampai meneliti berbagai hal tentang anorganik serta mineral.” Al-Jahiz lah
ahli biologi Muslim yang pertama kali mengembangkan sebuah teori evolusi.
Ilmuwan dari abad ke-9 M itu
mengungkapkan dampak lingkungan terhadap kemungkinan seekor binatang untuk
tetap bertahan hidup. Sejarah peradaban Islam mencatat, Al-Jahiz sebagai ahli
biologi pertama yang mengungkapkan teori berjuang untuk tetap hidup (struggle
for existence). Untuk dapat bertahan hidup, papar dia, makhluk hidup harus
berjuang, seperti yang pernah dialaminya semasa hidup. Beliau dilahirkan dan
dibesarkan di keluarga miskin. Meskipun harus berjuang membantu perekonomian
keluarga yang morat-marit dengan menjual ikan, ia tidak putus sekolah dan rajin
berdiskusi di masjid tentang sains. Beliau bersekolah hingga usia 25 tahun. Di
sekolah, Al-Jahiz mempelajari banyak hal, seperti puisi Arab, filsafat Arab,
sejarah Arab dan Persia sebelum Islam, serta Alquran dan hadis.[26]
10. Ar-Razi (Razhes)
10. Ar-Razi (Razhes)
Abu Bakar Muhammad bin Zakaria
ar-Razi atau dikenali sebagai Rhazes di dunia barat merupakan salah seorang
pakar sains Iran yang hidup antara tahun 864 – 930. Ia lahir di Rayy, Teheran
pada tahun 251 H./865 dan wafat pada tahun 313 H/925. Ar-Razi sejak muda telah
mempelajari filsafat, kimia, matematika dan kesastraan. Dalam bidang
kedokteran, ia berguru kepada Hunayn bin Ishaq di Baghdad. Sekembalinya ke
Teheran, ia dipercaya untuk memimpin sebuah rumah sakit di Rayy.
Disamping
itu,masih banyak juga ilmuwan-ilmuwan Islam pada periode ini diantaranya
Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali yang ahli dalam hukum Islam, Al-farabi ahli
astronomi dan matematika, Al-kindi ahli filsafat, Al-ghazali intelek yang
meramu berbagai ilmu sehingga menjadi kesatuan dan kesinambungan dan
mensintesis antara agama, filsafat, mistik dan sufisme . Ibnu Khaldun ahali
sosiologi, filsafat sejarah, politik, ekonomi, social dan kenegaraan.[27]
D.
KEMUNDURAN PERADABAN ISLAM
Kemunduran peradaban Islam diawali sejak kota Bagdad sebagai
pusat pemerintahan dan pusat peradaban Islam, jatuh ketangan kekuasaan bangsa
Mongol yang dipimpin Hulagu Khan. Dan seiring dengan berjalannya waktu, setelah
peradaban Islam mencapai puncaknya, kemudian perlahan dan pasti mengalami
kemunduran dengan cepat, bagaikan rembulan yang telah menjadi purnama, maka
malam-malam berikutnya pasti akan menurun dan berkurang sinarnya.[28]
Profesor Dr. George Sarton, mengatakan :
“Sebab hakiki setiap kemunduran
adalah urusan dalam, bukan urusan luar. Jika secara kebetulan kita menyaksikan
sebatang pohon tumbang lantaran amukan taufan, maka seharusnya janganlah kita
mengutuk taufan itu atas penumbangannya terhadap pohon tersebut. Semestinya
ditujukan pada pohon itu sendiri, karena kebusukan bagian dalamnya”.[29]
Dengan demikian semenjak jatuhnya kota Bagdad dan juga
karena adanya factor-faktor yang lain, perkembangan stadi Islam sampai era
kebangkitan Eropa (Reinasans) - dimana kebangkitan peradaban dan ilmu pengetahuan Barat
Eropa - telah menghempaskan dan merobohkan pohon peradaban Islam klasik yang
memang sudah rapuh dari dalam diri umat Islam sendiri.
Adapun faktor internal kemunduran
Islam yang mungkin bisa dijadikan pelajaran bagi generasi berikutnya, seperti
yang dikemukakan George Sarton antara lain :[30]
Pertama, matinya tradisi keilmuan. George S
mengatakan “ ... ilmu pengetahuan yang
mereka miliki sudah cukup, dengan demikian ilmu pengetahuan berhenti disebabkan
kejemuan dan permusuhan mereka pada pekerjaan piker memikir”[31]
Mereka telah merasa puas dengan menikmati hasil prestasi yang telah dicapai
oleh pemikir dan ilmuan terdahulu, sehingga mereka tidak merasa perlu lagi
mencipta, merintis yang baru, berjihad dan berijtihad. Keprihatinan terhadap
hal ini dikemukakan oleh Ayub Khan ketika menjadi Presiden Pakistandalam
pidatonya, ”Kita tidak usah meratapi keruntuhan kerajaan Islam, tetapi yang
harus diratapi ialah matinya kebebasan berpikir ilmiah dan melakukan
penelitian”.[32]
Kedua, sikap ulama yang tertutup.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disikapi dengan apriori, reaksi
fiqhiyah yang berlebihan. Bahkan Muhammad
bin Abdul Wahab berpendapat,”Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang
tidak didasarkan atas al Qur’an dan as Sunnah, atau ilmu yang bersumber kepada
akal semata-mata”.[33]
Ketiga, tidak adanya apresiasi terhadap
ilmu pengetahuan dan ahli ilmu pengetahuan. Di Sevilla, Ibnu Hazm dengan rasa
sedih terpaksa harus membantu membakar buku-buku karangannya sendiri, hanya
karena pemikirannya berbeda pendapat dengan madzhab resmi negara.
Keempat, hancurnya ketahan moril umat
Islam, karena dihinggapi rasa wahn, yaitu hubbudun-ya wa karahiyatul mawt,
kecintaannya pada dunia menyebabkan rasa ketakuatan akan kematian. Umat Islam
dilanda sikap hidup foya-foya, korup dan individualis.[34]
Ibnu Kaldun mengatakan,”Kemewahan itu merupakan pertanda bahwa peradaban suatu
bangsa yang dibangun bakal mengalami kehancuran”.[35]
E.
STADI ISLAM
ERA KONTEMPORER
Pasca runtuhnya peradaban Islam, filsafat mengalami
perkembangan kembali pada abad modern yang diawali terlebih dahulu dengan
adanya zaman Renissans, yaitu peralihan abad pertengahan ke abad modern. Zaman
ini terkenal dengan era kelahiran kembali kebebasan manusia dalam berfikir yang
banyak dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Rusdy. Dunia Eropa menggeliat kembali
dengan semangat kebebasan berpikir dengan munculnya gerakan averroism.[36]
Sejak zaman ini kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan
didasarkan pada kepercayaan dan kepastian intelektual (sikap ilmiah) yang kebenarannya dapat dibuktikan berdasarkan
metode, perkiraan dan pemikiran yang dapat diuji. Wacana filsafat yang menjadi
topik utama pada abad modern khususnya abad ke-17 adalah persoalan
epistemology. Pertanyaan pokok dalam bidang ini adalah bagaimana manusia
memperoleh pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud dengan kebenaran itu
sendiri. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka dalam abad ke-17
muncullah dua aliran filsafat yang memberikan jawaban berbeda, bahkan saling
bertentangan. Aliran tersebut adalah aliran rasionalisme dan empirisme.[37]
Kritisisme adalah aliran yang berusaha untuk menjembatani
aliran rasionalisme dan empirisme. Tokoh aliran ini adalah filsuf Jerman yaitu
Imanuel Kant. Namun, kehadiran aliran ini bukanlah batas akhir pertentangan
pendapat aliran-aliran terdahulu. Justru setelah lahirnya aliran ini muncul
lagi aliran-aliran lainnya. Aliran yang mendukung aliran kritisisme sekaligus
rasionalisme yaitu aliran idealisme, maupun aliran yang mendukung aliran
empirisme sekaligus kritisisme yaitu positivism.
Pada tahun 1934 Karl Popper mengumumkan karyanya yang berisi
sangkalan terhadap positivisme. Ia memaparkan beberapa kelemahan fatal dari
filsafat positivisme yang dikhotbahkan oleh salah satu tokoh aliran positivisme
yaitu Alfred Jules Ayer. Alfred Jules Ayer berpendapat bahwa filsafat berdasar
pada prinsip verifikasi.[38].
Namun, pada akhirnya diketahui falsifikasionisme Popperpun memiliki
keterbatasan.teori-teori tidak dapat konklusif difalsifikasi, karena keterangan
observasi yang menjadi dasar untuk falsifikasi itu sendiri mungkin salah
dilihat dari perkembangan selanjutnya. Pengetahuan di zaman Copernicus tidak
mengizinkan adanya kritik yang sah terhadap observasi yang menyatakan bahwa
besarnya planet Mars dan Venus nampak konstan sehingga secara harfiah boleh
dikatakan bahwa teori Copernicus itu dianggap telah difalsifikasi oleh
keterangan observasi itu sendiri. Seratus tahun kemudian, falsifikasi itu dapat
dibatalkan karena perkembangan baru dalam Optik.
Falsifikasi konklusif gugur karena kekurangan dasar observasi
yang terjamin dengan sempurna, padahal falsifikasi itu tergantung dengannya.
Dengan hanya memandang hubungan antara teori dengan keterangan observasi, kaum
falsifikasionis gagal memperhitungkan kompleksitas yang terdapat dalam teori
ilmiah yang penting-penting. Penekanan kaum falsifikasionis yang melakukan
dugaan dan falsifikasi, tidak mampu mengkarakterisasi dengan memadai asal mula
dan pertumbuhan teori-teori yang kompleks secara realitis. Perumusan yang layak
seyogyanya adalah memandang teori sebagai suatu struktur yang utuh.
Pandangan tentang teori sebagai struktur yang kompleks adalah
pandangan yang pernah dan kini masih mendapat banyak perhatian. Thomas Kuhn
adalah filsuf yang memperkenalkannya dalam buku yang ia tulis, The Structure of Scientific revolution tahun
1962. Segi penting pendekatan yang digunakan Kuhn adalah pada teori Kuhn
terdapat peranan penting yang dimainkan oleh sifat-sifat sosiologis masyarakat
ilmiah dan pendekatan Kuhn yang menggunakan pandangan filosofis yang tahan
menghadapi kritik yang berdasarkan sejarah ilmu. Paradigma kuhn juga dijadikan
sebagai salah satu alasan terjadinya proses perkembangan pemikiran ilmu
pengetahuan. Kemudian memasuki periode Kontemporer tahun terakhir hingga saat
ini, perkembangan ilmu pengetahuan di era kontemporer ini diantaranya teknologi rekayasa
genetika (genetic engineering), teknologi informasi, teori partikel elementer.
Hal berbeda terjadi di dunia Islam era kontemporer sampai saat
ini, pada masa terakhir hingga saat ini umat Islam tertatih untuk bangkit dari
keterpurukan spiritual. Intelektual Islam yang gigih menyeru umat Islam untuk
kembali pada ajaran al-Quran dan Hadis. Pada masa krisis moral dan peradaban
muncul ilmuwan lainnya yaitu Muhammad Abduh. Muhammad Abduh berusaha
membangkitkan umat Islam untuk menggunakan akalnya. Ia berusaha mengikis
habis taklid. Hal tersebut dilakukan oleh Muhammad Abduh agara umat Islam
menemukan ilmu yang berasal dari al-Quran dan hadits. Sejak itu maka di era
kontemporer ini banyak muncul gerakan-gerakan pembaharu dan pemurni Islam
diberbagai belahan dunia.
Meskipun kehadiran
Barat telah memicu timbulnya respon dikalangan terpelajar muslim, kontak dengan
Barat bukanlah satu-satunya aktor yang menyebabkan munculnya gerakan pembaruan dan
pemurni dalam Islam. Di samping dalam batang tubuh doktrin doktrin Islam
pembaharuan (tajdîd) merupakan
sesuatu yang intern, kondisi objektif umat Islam sendiri yang secara umum
ditandai oleh semakin memudarnya semangat keilmuan, kebekuan (jumûd) dibidang intelektual, dan
berkembang pesatnya tradisi yang mendekati syirik, merupakan faktor yang tidak
bisa diabaikan begitu saja. Faktor-faktor itu sekaligus juga merupakan
tantangan kaum muslim, tidak hanya dalam tataran intelektual tetapi juga pada
tataran empiris, seperti kekhalifahan yang berabad-abad bertahan dalam Islam
mulai digugat.
F.
PENUTUP
Perkembangan dan kemajuan peradaban Islam tidak terlepas
dari sikap umat Islam sendiri terhadap al qur’an dan hadits sebagai obyek
kajian yang fundamental. Nilai-nilai dalam al qur’an dan hadits inilah yang
mentinya menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan, dan sekaligus sebagai passion for change bagi umat Islam dalam
kehidupan sehari-hari.
Sejarah Islam era klasik telah menunjukan bagaimana Islam
mampu mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban yang sangat mengagumkan.
Hal ini tidak terlepas dari semangat nilai-nilai al qur’andan hadits yang
memotifasi para ilmuwan Islam periode ini untuk membumikan nilai-nilai tersebut dalam peradaban manusia. Semangat
inilah yang mestinya harus tetap ada dalam diri umat Islam di era modern dan
kontemporer ini.
Bangkit, itu mungkin sebuah kata yang harus senantiasa kita
dangang-dengungkan untuk memotifasi umat Islam mengejar ketertinggalan di
bidang ilmu pengetahuan dan tehnologi di era modern dan kontemporer ini. Apa
yang sudah terjadi pada masa lalu tidak perlu diratapi dan disesali karena itu
sudah menjadi bagian dari sejarah. Menyimak apa yang dikatakan Ayub Khan ketika
menjadi Presiden Pakistan dalam pidatonya, ”Kita tidak usah meratapi keruntuhan
kerajaan Islam, tetapi yang harus diratapi ialah matinya kebebasan berpikir
ilmiah dan melakukan penelitian”, maka umat Islam perlu senantiasa berbenah
diri.
[1]
Abdul Hasan Ali Al Husni An Nadwi, Pertarungan Alam Pikiran Islam dengan
Alampikiran Barat di Negara-Negara Islam,cet.1 (Bandung: PT. Almaarif, 1965),
176
[2] M.
Natsir, Cultuur Islam,cet.1 (Bandung: Pendodikan Islam bag. Penyiaran. 1937),
15
[3]
Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Culture, alih bahasa Jahdan HS
(Yogyakarta, Kota Kembang, 1989)
[4]
Ibid., 16
[5]
L.W.H. Hull, History and Philosophy of Science : An Introduction (London:
Longmans, 1959),
[6]
Hasan Ibrahim Hasan , Islamic History and Culture, 134, pengibaratan atas
wilayah Eropa yang sangat luas namun keadaan masyarakatnya yang berada dalam
kebodohan yang teramat sangat.
[7]
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: Universitas Indonesia
(UI-Press), 1986), 55
[8]
Ibid.,56
[9]
Ibid., 57, mengenal gerakan penterjemah ini lihat lebih lanjut De Lacy O’leary
D.D.,How Greek Science passed to the Arabs (London: Routledge & Kegen Paul
Ltd, 1964)
[10]
M. Masyhur Amin, Dinamika Islam : Sejarah Transformasi dan Kebangkitan, cet. 2
(Yogyakarta: LKPSM, 1996), 58
[11]
George Sarton, The Incubation of Western Culture in the Middle East, alih
bahasa oleh Ridan As Sagaf (Surabaya: Pustaka Progresif, 1977) 53
[12]
Prof. Drs. Sutrisno Hadi, MA, Metodologi Research I (Yogyakarta, Andi
Yogyakarta, 2004), 13
[13] Jujun S Suriasumantri, Filsafat ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta :
Pustaka sinar Harapan,1993), 42
[14]
Ibid,. 42
[15] Amsal
Bachtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Reja Grafindo Persada, 2004),23
[16] Ibid,.
24
[17] Ahmad
Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1969),
[18]
Takwin
[19]
Komarudin Hidayat, Atasa Nama Agama : Wacana agama dalam dialog bebas konflik,
Bandung: Pustaka Hidayah, 1998, hal. 41-42
[20]
Ibid,. 42
[21] H.A.R.
Gibb, Wither Islam (London : Gollancz, 1932)
[22]
Amsal Bachtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Reja Grafindo Persada, 2004),25
[23] Nasution, Faruq, Islam dan Peradaban (
Jakarta: Hikma Islamic Liberary, 2007), 45
[24]
Ibid,.46
[25]
Ibid,. 47
[26]
Ibid,. 56
[27]
Ibid,. 57
[28]
M. Masyhur Amin, Dinamika Islam : Sejarah Transformasi dan Kebangkitan, cet. 2
(Yogyakarta: LKPSM, 1996), 58
[29]
George Sarton, The Incubation of Western Culture in the Middle East, alih
bahasa oleh Ridan As Sagaf (Surabaya: Pustaka Progresif, 1977) 53
[30]
M. Masyhur Amin, 59
[31] Ibid,.
59
[32]
Sultan Takdir Alisyahbana : Sumbangan Islam kepada Kebudayaan Dunia yang Lampau
dan Masa Yang Akan Datang, Al Jami’ah, 19, Th.XV/1978, 150
[33]
Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam,(Jakarta: Pustaka Al Husna, 1999,) 59
[34]
M. Masyhur Amin, 60
[35]
Osman Raliby, Ibnu Chaldun tentang Masyarakat dan Negara,(Jakarta : Bulan
Bintang, 1961), 242
[36]
Hasan Ibarahim Hasan, 321
[37]
Amsal Bakhtiar,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar