Haje Abdoel Hakim bin Haje Noer Chamid bin Haje Abdoel Ishaq bin Haje Abdoel Salam lahir di Kebumen 26 Nopember 40 tahun yang lalu, beristrikan Sri Lestari Rahayu binti Haje Moechammad Bachroedin, terlahir anak-anak Nur Nayla Rahma, Nur Kamalia Zulfa, Achmad Mumtaz kamal dan Achmad Nazih Fikri

Senin, 15 Oktober 2012

STUDI ISLAM ERA KLASIK DAN KONTEMPORER


( Historical and Comparative Research Approach )

Atam Ruba’i Hamid

A.          PENDAHULUAN
Studi Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies, secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, dengan perkataan lain usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah, maupun praktek-praktek pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.[1]
Usaha mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang diluar kalangan umat Islam. Studi keIslaman dikalangan umat Islam sendiri tentunya sangat berbeda tujuan dan motifasinya dengan yang dilakukan oleh orang-orang diluar kalangan umat Islam. Dikalangan umat Islam, studi keIslaman bertujuan untuk mendalami dan memahami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar, sedangkan diluar kalangan umat Islam, studi keIslaman bertujuan untuk mempelajari seluk beluk agama dan praktek keagamaan yang berlaku dikalangan umat Islam, yang semata-mata hanya sebagai sebuah ilmu pengetahuan.[2]
Rentang waktu masa  sejak manusia ada hingga sekarang merupakan rentang yang sangat panjang sehingga para ahli sejarawan sering mengalami kesulitan untuk memahami masalah-masalah yang muncul dalam sejarah kehidupan manusia. Periodisasi adalah pembabakan waktu yang berurutan sesuai dengan waktu kejadian. Periodisasi dalam sejarah adalah tingkat perkembangan masa dalam sejarah, sebagai usaha untuk mempermudah pemahaman dan pembahasan sejarah kehidupan manusia, dan dalam hal ini  maka para ahli kemudian menyusun suatu periodisasi sejarah atau pembabakan masa sejarah.[3]
Periodisasi dibuat dengan tujuan agar dapat diketahui ciri khas atau karakteristik kehidupan manusia sehingga mudah dipahami. Dalam periodisasi ini, akan diketahui perkembangan kehidupan manusia, kesinambungan antara periode yang satu dengan periode berikutnya, terjadinya fenomena yang berulang dan perubahan yang terjadi dari periode yang awal sampai pada periode berikutnya. Periodisasi ini dalam sejarah dilakukan oleh masyarakat, bangsa, atau negara di seluruh dunia, karena pada setiap periode sejarah terdapat rangkaian- rangkaian peristiwa atau kejadian dengan jumlah yang sangat banyak dan waktu yang sangat panjang.[4]
Berkenaan dengan periodesasi filsafat dan ilmu pengetahuan ini, L.W.H. Hull (1950) dalam bukunya  “History and Philosophy of  Science”, menjelaskan bahwa setidaknya sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan dapat dibagi dalam beberapa periode,[5] yaitu :

1.   Periode Filsafat Yunani (Abad 6 SM-0 M)
Tokoh pada periode ini diantaranya Thales, seorang ahli filsafat, astronomi dan geometri yang dalam pengembaraan intelektualnya menggunakan pola deduktif, Aristoteles seorang tokoh filsafat dan  ilmu empiris yang menggunakan pendekatan induktif, Phytagoras menggunakan pendekatan mistis dan matematis dalam aritmatika dan geometrinya, dan Plato seorang ahli ilmu rasional dan filsafat yang menggunakan pendekatan deduktif. Pada periode ini para filosof  dan intelek pada masa itu menggunakan dua metode yaitu metode filosofis deduktif dan filosofis induktif.
2.   Periode Kelahiran Nabi Isa (Abad 0-6 M).
Periode ini diawali dengan adanya pertentangan antara para filosof dengan kekuatan gereja yang diwakili oleh  para pastur dan para raja yang pro kepada gereja. Sehingga pada masa ini filsafat mengalami kemunduran. Para raja membatasi kebebasan berfikir sehingga filsafat seolah-olah telah mati suri. Ilmu pengetahuan menjadi beku, kebenaran hanya menjadi otoritas gereja, hanya gereja dan para raja yang berhak mengatakan dan menjadi sumber kebenaran.
3.   Periode Kebangkitan Islam (Abad 6-13 M) / Zaman Keemasan
Pada periode ini  dunia Kristen Eropa sedang mengalami masa kegelapan, diseumpamakan dengan ” bangkai raksasa yang sedang membusuk “,[6] sementara itu dunia Islam tengah mengalami masa keemasan.
4. Periode Kebangkitan Eropa (Abad 14-20) / Reinasans
Pada periode ini peradaban Eropa mengalami kebangkitan, sementara dunia Islam mengalami kemunduran. Pada masa ini muncul tokoh-tokoh intelektual diantaran Gerard Van Cromona yang  menyalin buku Ibnu Sina The canon of medicine , Fransiscan Roger Bacon, yang menganut aliran pemikiran empirisme dan realisme berusaha menenentang berbagai kebijakan gereja dan penguasa pada waktu  itu, sehingga menyebabkan perlawanan terhadap gereja dan raja yang menindas terus berlangsung, revolusi  ilmu pengetahuan makin gencar dan meningkat, Newton dengan teori gravitasinya, John Locke yang menghembuskan perlawanan kepada pihak gereja dengan mengemukakan bahwa manusia bebas untuk berbicara, bebas mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak untuk  merdeka, hak berfikir, begitu juga  J.J .Rousseau yang mengecam penguasa melalui bukunya yang berjudul Social Contak.
4.   Periode Kontemporer (Adad 21 – sekarang)
Periode ini merupakan era tahun terakhir hingga saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan di periode  kontemporer ini diantaranya teknologi rekayasa genetika (genetic engineering), teknologi informasi, teori partikel elementer.

Islamic Studies sebagai bidang kajian dan penelitian ilmiah menjadikan Alqur’an dan Hadits sebagai obyek kajian yang fundamental. Alquran dan hadits dikembangkan oleh umat Islam dalam spektrum seluas-luasnya, prinsip semua ilmu dalam pandangan umat Islam terdapat dan bersumber dalam alquran, alquran dan hadits menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dengan menekankan pada kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu, pencarian ilmu dalam segi apapun pada akhirnya bermuara pada penegasan tauhid.
Perkembangan ilmu pengatahuan di dunia Islam tidak terlepas dari pengaruh perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani masuk kedalam Islam lebih banyak melalui Irak dengan Bagdad sebagai pusat peradabannya. Disanalah timbul gerakan penterjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab atas dorongan Khalifah Al Mansyur, Harun Al Rasyid dan dilanjutkan oleh  Al Ma’mun dengan mendirikan Bait Al Hikmah sebagai pusat penterjemahan dan kegiatan keilmuan pada masa itu.[7]
Selanjutnya dalam perkembangan ilmu dan filsafat di dunia Islam terdapat upaya rekonsiliasi yaitu mendekatkan dan mempertemukan dua pandangan yg berbeda antara pandangan filsafat Yunani Kuno dan pandangan agama Islam yang sangat ekstrim bahkan berbenturan. Dan faktor penunjang keberhasilan Islam dalam menemukan dan mengembangkan filsafat dan ilmu pengetahuan ini adalah karena adanya aktifitas penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani, Persi dan India ke dalam bahasa Arab yang kegiatan ini didukung oleh penguasa masa itu Dinasti Bani Abbasiyah, yang  juga menjadikannya bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara dan bahasa pemersatu.[8] Gerakan penterjemahan ini berlangsung selama seratus lima puluh tahun, mulai tahun 750 sampai 900 M.[9] Pada masa inilah stadi Islam (Islamic Studies) mencapai puncak peradabannya.
Seiring dengan berjalannya waktu, setelah peradaban Islam mencapai puncaknya, kemudian perlahan dan pasti mengalami kemunduran dengan cepat, bagaikan rembulan yang telah menjadi purnama, maka malam-malam berikutnya pasti akan menurun dan berkurang sinarnya.[10] Profesor Dr. George Sarton, mengatakan :

“Sebab hakiki setiap kemunduran adalah urusan dalam, bukan urusan luar. Jika secara kebetulan kita menyaksikan sebatang pohon tumbang lantaran amukan taufan, maka seharusnya janganlah kita mengutuk taufan itu atas penumbangannya terhadap pohon tersebut. Semestinya ditujukan pada pohon itu sendiri, karena kebusukan bagian dalamnya”.[11]

Demikianlah kenyataan riil perkembangan stadi Islam sampai era kebangkitan Eropa (Reinasans), dimana kebangkitan peradaban dan ilmu pengetahuan Barat Eropa telah menghempaskan dan merobohkan pohon peradaban Islam klasik yang memang sudah rapuh dari dalam diri umat Islam sendiri.
Kemudian memasuki masa modern hingga era kontemporer saat ini, umat Islam masih tertatih-tatih untuk bangkit dari keterpurukan moral, spiritual dan intelektual. Berbagai usaha untuk keluar dari masa krisis moral, spiritual dan Intelektual ini mulai diperjuangkan oleh gerakan pembaharu dan pemurni Islam, diantaranya muncul Muhammad Abduh dan banyak intelektual-intelektual Islam lainnya yang gigih menyeru umat Islam untuk kembali pada ajaran al-Quran dan Hadis, berjuang membangkitkan umat Islam untuk kembali menggunakan akalnya,  berusaha mengikis habis taklid agara umat Islam menemukan kembali berbagai ilmu yang berasal dari sumber aslinya al-Quran dan hadis.
Berangkat dari uraian tersebut diatas muncul rumusan masalah yang coba kita bangun dengan pendekatan sejarah dan komparasi (Historical and Comparative Research Approach) yaitu  suatu pendekatan untuk memahami sesuatu dengan mempelajari sejarahnya dan untuk selanjutnya  membandingkan seluruh aspek yang ada dalam sesuatu tersebut dengan sesuatu yang lainnya, dengan demikian akan dihasilkan pemahaman suatu yang objektif dan utuh. Atau dengan kata lain, pendekatan dengan tujuan untuk mengetahui Islamic Studies era klasik dan kontemporer dari sisi sejarah pasang surutnya, dan bagaimana bentuk  komparasi perbandingan yang dapat dibangun dari Islamic Studies era klasik dan kontemporer, sebagai usaha untuk memotifasi diri.

B.     STUDI ISLAM ERA KLASIK
Perkembangan ilmu pengetahuan pada prinsipnya tidak dapat dilepaskan dari dua motif  pokok  yaitu, dorongan ingin tahu dan kegunaan praktis. Kedua motif ini dalam kenyataannya sukar untuk dipisahkan dan dipastikan mana yang timbul lebih dahulu. Kegunaan praktis dalam praktek hidup acapkali menjadi pendorong yang sangat kuat bagi manusia untuk menjelajahi rimba-raya pengetahuan yang belum pernah dikuak sebelumnya. Sebaliknya dorongan ingin tahu juga dapat menggerakan manausia untuk selalu menanyakan kekuatan-kekuatan apa yang ada dibalik gejala-gejala alam ini sehingga kekuatan-kekuatan yang menguasai alam itu dapat diketahui dan dapat digunakan untuk memperbaiki nasib hidup manusia dengan bekal pengetahuan tersebut.[12] 
Kemudian berbicara mengenai pengetahuan maka kita akan bicara tentang penalaran, karena dengan kemampuan penalaran manusia ini menyebabkan manusia mampu untuk mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Hakikat dari penalaran itu sendiri merupakan suatu proses berfikir dalam menarik kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berfikir dan bukan karena perasaan semata, meskipun kata pascal, hatipun mempunyai logika sendiri.[13]
Pengetahuan (sains) tidak akan terlepas dari filsafat, karena itulah filsafat diibaratkan dengan pasukan mariner yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri, dan pasukan infanteri inilah sebagai ilmu pengetahuan. Sehingga semua ilmu baik ilmu alam (naturalsca) maupun ilmu sosial (social snac) bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat.[14]
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, periode filsafat Yunani merupakan periode yang sangat penting dalam sejarah peradaban manusia, karena pada waktu ini telah terjadi perubahan pola fikir manusia dari mitosentris yaitu pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam,berubah menjadi pola pikir logosentris. Perubahan pola fikir yang kelihatan sangat sederhana ini, namun sebenarnya memiliki implikasi yang sangat besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Perlakuan terhadap alam yang selama ini ditakuti dan dijauhi berubah menjadi didekati bahkan dieksploitasi, dan manusia yang dulunya pasif terhadap alam berubah menjadi aktif dan memposisikan alam sebagai objek penelitian dan pengkajian manusia.  Dari proses inilah kemudian ilmu pengetahuan berkembang dari rahim filsafat,[15] sejak itulah filsafat dan ilmu pengetahuan terus mengalami perkembangan, mulai dari munculnya kaum sophiis (bangsawan),[16] era klasik Yunani, era Keemasan Islam, era kebangkitan Eropa (Reinasans) sampai dengan era  Kontemporer sekarang ini. 
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, Philosophia (philos dan Sophia), philos berarti cinta atau sahabat, dan Sophia berarti kebijaksanaan, kearifan atau pengetahuan. Philosophia berarti cinta pada kebijaksanaan atau cinta pada pengetahuan.[17] Aristoteles (384-322 SM) membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat  teoretis  dan filsafat  praktis. Filsafat teoretis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik. Kemudian secara umum filsafat diartikan sebagai upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Filsafat dianggap sebagai sebuah proses bukan sebagai sebuah produk, maka proses yang dilakukan filsafat adalah berpikir kritis, yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak.[18]
Dalam studi keagamaan sering dibedakan antara kata religion dengan kata religiosity. Kata religion biasa dialih-bahasakan menjadi agama, yang pada mulanya lebih berkonotasi sebagai kata kerja, yang mencerminkan sikap keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, religion bergeser menjadi semacam kata benda, ia menjadi himpunan doktrin, ajaran, serta hukum-hukum yang telah baku yang diyakini sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk manusia. Proses pembakuan ini berlangsung antara lain melalui proses sistematis nilai dan semangat agama, sehingga sosok agama hadir sebagai himpunan sabda Tuhan yang terhimpun dalam kitab suci dan literatur keberagamaan karya para ulama.
Sedangkan religiosity lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang diyakininya.Istilah lain yang lebih tepat untuk religiositas adalah  spiritualitas.[19] Spiritualitas lebih menekankan pada substansi nilai-nilai luhur keagamaan dan cenderung memalingkan diri dari formalism keagamaan. Biasanya, orang yang merespon agama dengan menekankan dimensi spiritualitasnya cenderung bersikap apresiatif terhadap nilai-nilai luhur keagamaan meskipun berada dalam wadah agama lain. Sebaliknya, ia merasa terganggu oleh berbagai bentuk formalisasi agama yang berlebihan, karena hal itu dinilai akan menghalangi berkembangnya nilai-nilai moral dan spiritual keagamaan.[20] Oleh karena itu, kita perlu mengetahui kebenaran agama bukan hanya pada tataran ekoterik, melainkan juga pada tataran esoteris.
Prof.H.A.R. Gibb dalam bukunya Wither Islam mengatakan bahwa,”Islam is indeed much more than a system of theology; it is a complete civilization”, sebuah pengakuan seorang ahli yang tidak dipengaruhi oleh fanatisme agama, mengatakan bahwa Islam itu sesungguhnya lebih dari sebuah sistem kepercayaan atau agama saja, Islam adalah satu kebudayaan atau peradaban yang lengkap.[21] Dan para ahli juga mengakui akan jasa-jasa Islam terhadap perkembangan kebudayaan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya.
Perkembangan ilmu pengatahuan di dunia Islam tidak terlepas dari pengaruh perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani masuk kedalam Islam pada masa daulah Bani Abbasiyah melalui Irak dengan Bagdad sebagai pusat pemerintahan dan sekaligus pusat  peradabannya. Gerakan penterjemahan buku-buku berbahasa Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa Arab yang dipusatkan di  Bait al Hikmah  dibawah pengawasan  Hunain ibn Ishaq Al ‘Ibadi, menjadi faktor sangat penting dalam proses transfer of knowledge dan transfer of value dalam stadi Islam.
Kebangkitan Islam ini ditandai juga dengan lahirnya ilmu-ilmu baru seperti logika, kimia, kedokteran dan sebagainya, melalui karya-karya ilmuwan yang berupa buku-buku ilmiah yang telah ditulis dan diterbitkan. Para ilmuwan Islam era klasik  bukan hanya menguasai ilmu dan filsafat yang mereka peroleh dari peradaban Yunani klasik saja, tetapi mereka kemudian kembangkan dan tambahkan kedalamnya hasil-hasil penelitian mereka sendiri di bidang ilmu pengetahuan dan hasil-hasil pemikiran mereka di bidang filsafat, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat semakin komplek dan alkulturatif.
Pemikiran mengenai logika, matematika, dan metafisika misalnya, yang berawal dari pemikiran Aristoteles yang telah membuat kagum dan mempengaruhi pemikir Islam, namun terhadap pemikiran tersebut para pemikir Islam tidak memungut begitu saja melainkan mengolahnya kembali sesuai dengan ajaran Islam. Jika Aristoteles mengatakan bahwa benda berdiri dari hule dan bentuk (form), pemikir Islam seperti Muamar (tokoh Mutazilah) mengatakan bahwa benda itu adalah sesuatu yang mempunyai sifat panjang, lebar, dan kedalaman. Unsur-unsur benda bukanlah hule dan bentuk, tetapi dari bagian-bagian yang tak terbagi. Di sinilah kita memasuki inti teori atom di kalangan ahli-ahli pikir umat Islam.[22]

C.    ILMUWAN ISLAM ERA KLASIK
Pengaruh semangat pengembangan studi Islam di era klasik benar-benar menghantarkan dunia ilmu pengetahuan dan filsafat mencapai puncak keemasan. Peradaban Islam mengalami kemajuan yang sangat luar biasa, dan seiring dengan hal tersebut muncul ilmuwan–ilmuwan muslim yang sangat masyhur, bahkan sampai sekarang penemuan dan hasil karyannya masih digunakan dan menjadi rujukan sebagai dasar dari perkembangan pengetahuan modern dan kontemporer. Berikut 10 ilmuwan muslim yang sangat berjasa bagi dunia ilmu pengetahuan:[23]
1.    Ibnu Rusyd (Averroes)
Abu Walid Muhammad bin Rusyd lahir di Kordoba (Spanyol) pada tahun 520 Hijriah (1128 Masehi). Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja’far Harun dan Ibnu Baja. Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai Kadi (hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Averroes dan komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang mempengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan, termasuk pemikir semacam St. Thomas Aquinas. Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah hukum.Pemikiran Ibnu Rusyd
Karya-karya Ibnu Rusyd meliputi bidang filsafat, kedokteran dan fikih dalam bentuk karangan, ulasan, essai dan resume. Hampir semua karya-karya Ibnu Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Ibrani (Yahudi) sehingga kemungkinan besar karya-karya aslinya sudah tidak ada.
2.   Ibnu Sina (Avicenna)
Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Beliau juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah Bapak Pengobatan Modern dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine,yang dikenal juga sebagai sebagai Qanun fi Thib yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar, dan banyak diantaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. George Sarton menyebut Ibnu Sina sebagai ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu. 
3.   Al-Biruni
Merupakan matematikawan Persia, astronom, fisikawan, sarjana, penulis ensiklopedia, filsuf, pengembara, sejarawan, ahli farmasi dan guru, yang banyak menyumbang kepada bidang matematika, filsafat, obat-obatan.Abu Raihan Al-Biruni dilahirkan di Khawarazm di Asia Tengah yang pada masa itu terletak dalam kekaisaran Persia.
Dia belajar matematika dan pengkajian bintang dari Abu Nashr Mansur.Abu Raihan Al-Biruni merupakan teman filsuf dan ahli obat-obatan Abu Ali Al-Hussain Ibn Abdallah Ibn Sina/Ibnu Sina, sejarawan, filsuf, dan pakar etik Ibnu Miskawaih, di universitas dan pusat sains yang didirikan oleh putera Abu Al Abbas Ma’mun Khawarazmshah.
Abu Raihan Al-Biruni juga mengembara ke India dengan Mahmud dari Ghazni dan menemani beliau dalam ketenteraannya di sana, mempelajari bahasa, falsafah dan agama mereka dan menulis buku mengenainya. Dia juga mengetahui bahasa Yunani, bahasa Suriah, dan bahasa Berber. Dia menulis bukunya dalam bahasa Persia (bahasa ibunya) dan bahasa Arab.[24]
4.   Al-Khawarizmi
Nama Asli dari al-Khawarizmi ialah Muhammad Ibn Musa al-khawarizmi. Selain itu beliau dikenali sebagai Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Yusoff. Al-Khawarizmi dikenal di Barat sebagai al-Khawarizmi, al-Cowarizmi, al-Ahawizmi, al-Karismi, al-Goritmi, al-Gorismi dan beberapa cara ejaan lagi. Beliau dilahirkan di Bukhara.Tahun 780-850M adalah zaman kegemilangan al-Khawarizmi. al-Khawarizmi telah wafat antara tahun 220 dan 230M. Ada yang mengatakan al-Khawarizmi hidup sekitar awal pertengahan abad ke-9M. Sumber lain menegaskan beliau hidup di Khawarism, Usbekistan pada tahun 194H/780M dan meninggal tahun 266H/850M di Baghdad.[25]
Dalam pendidikan telah dibuktikan bahawa al-Khawarizmi adalah seorang tokoh Islam yang berpengetahuan luas. Pengetahuan dan keahliannya bukan hanya dalam bidang syariat tapi di dalam bidang falsafah, logika, aritmatika, geometri, musik, ilmu hitung, sejarah Islam dan kimia. 
5. Jabir Ibnu Hayyan / Ibnu Geber
Lahir di kota peradaban Islam klasik, Kuffah (Irak), ilmuwan Muslim ini lebih dikenal dengan nama Ibnu Hayyan. Sementara di Barat ia dikenal dengan nama Ibnu Geber. Ayahnya, seorang penjual obat, meninggal sebagai ‘syuhada’ demi penyebaran ajaran Syi’ah. Jabir kecil menerima pendidikannya dari raja bani Umayyah, Khalid Ibnu Yazid Ibnu Muawiyah, dan imam terkenal, Jakfar Sadiq. Ia juga pernah berguru pada Barmaki Vizier pada masa kekhalifahan Abbasiyah pimpinan Harun Al Rasyid.
Ditemukannya kimia oleh Jabir ini membuktikan, bahwa ulama di masa lalu tidak melulu lihai dalam ilmu-ilmu agama, tapi sekaligus juga menguasai ilmu-ilmu umum. “Sesudah ilmu kedokteran, astronomi, dan matematika, bangsa Arab memberikan sumbangannya yang terbesar di bidang kimia,” tulis sejarawan Barat, Philip K Hitti, dalam History of The Arabs. Berkat penemuannya ini pula, Jabir dijuluki sebagai Bapak Kimia Modern. 
6. Ibnu Ismail Al Jazari
Al Jazari mengembangkan prinsip hidrolik untuk menggerakkan mesin yang kemudian hari dikenal sebagai mesin robot. Al Jazari merupakan seorang tokoh besar di bidang mekanik dan industri. Lahir dai Al Jazira, yang terletak diantara sisi utara Irak dan timur laut Syiria, tepatnya antara Sungai tigris dan Efrat.Al-Jazari merupakan ahli teknik yang luar biasa pada masanya.
Nama lengkapnya adalah Badi Al-Zaman Abullezz Ibn Alrazz Al-Jazari. Dia tinggal di Diyar Bakir, Turki, selama abad kedua belas. Ibnu Ismail Ibnu Al-Razzaz al-Jazari mendapat julukan sebagai Bapak Modern Engineering berkat temuan-temuannya yang banyak mempengaruhi rancangan mesin-mesin modern saat ini, diantaranya combustion engine, crankshaft, suction pump, programmable automation, dan banyak lagi. 
 7. Abu Al-Zahrawi (Albucasis)
Abu Al-Zahrawi merupakan seorang dokter, ahli bedah, maupun ilmuan yang berasal dari Andalusia. Dia merupakan penemu asli dari teknik pengobatan patah tulang dengan menggunakan gips sebagaimana yang dilakukan pada era modern ini. Sebagai seorang dokter era kekalifahan, dia sangat berjasa dalam mewariskan ilmu kedokteran yang penting bagi era modern ini.
Al Zahrawi lahir pada tahun 936 di kota Al Zahra yaitu sebuah kota yang terletak di dekat Kordoba di Andalusia yang sekarang dikenal dengan negara modern Spanyol di Eropa. Kota Al Zahra sendiri dibangun pada tahun 936 Masehi oleh Khalifah Abd Al rahman Al Nasir III yang berkuasa antara tahun 912 hingga 961 Masehi. Ayah Al Zahrawi merupakan seorang penguasa kedelapan dari Bani Umayyah di Andalusia yang bernama Abbas. Menurut catatan sejarah keluarga ayah Al Zahrawi aslinya dari Madinah yang pindah ke Andalusia.
Al Zahrawi selain termasyhur sebagai dokter yang hebat juga termasyhur karena sebagai seorang Muslim yang taat. Dalam buku Historigrafi Islam Kontemporer, seorang penulis dari perpustakaan Viliyuddin Istanbul Turki menyatakan Al Zahrawi hidup bagaikan seorang sufi. Kebanyakan dia melakukan pengobatan kepada para pasiennya secara cuma-cuma. Dia sering kali tidak meminta bayaran kepada para pasiennya. Sebab dia menganggap melakukan pengobatan kepada para pasiennya merupakan bagian dari amal atau sedekah. Dia merupakan orang yang begitu pemurah serta baik budi pekertinya. 
 8. Ibnu Haitham (Al Hazen)
Nama lengkapnya Abu Al Muhammad al-Hassan ibnu al-Haitham. Dunia Barat mengenalnya dengan nama Alhazen. Ia lahir di Basrah tahun 965 M. Di kota kelahirannya itu ia sempat menjadi pegawai pemerintahan. Tetapi segera keluar karena tidak suka dengan kehidupan birokrat. Sejak itu, mulailah perantauannya untuk belajar ilmu pengetahuan. Kota pertama yang dituju adalah Ahwaz kemudian Baghdad. Kecintaannya kepada ilmu pengetahuan membawanya berhijrah ke Mesir. Untuk membiayai hidupnya, ia menyalin buku-buku tentang matematika dan ilmu falak.
Belajar yang dilakukan secara otodidak membuatnya mahir dalam bidang ilmu pengetahuan, ilmu falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Tulisannya mengenai mata telah menjadi salah satu rujukan penting dalam bidang penelitian sains di Barat. Kajiannya mengenai pengobatan mata menjadi dasar pengobatan mata modern. Ibnu Haitham juga turut melakukan percobaan terhadap kaca yang dibakar dan dari situ tercetuslah teori lensa pembesar. Teori itu telah digunakan oleh para saintis di Itali untuk menghasilkan kaca pembesar pertama di dunia. Yang lebih menakjubkan ialah Ibnu Haitham telah menemukan prinsip isi padu udara sebelum seorang ilmuwan bernama Tricella mengetahui hal tersebut 500 tahun kemudian.
Beberapa buah buku mengenai cahaya yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, salah satunya adalah Light dan On Twilight Phenomena. Kajiannya banyak membahas mengenai senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari serta bayang-bayang dan gerhana. Banyak buku yang dihasilkannya dan masih menjadi rujukan hingga saat ini. Di antara buku-bukunya itu adalah Al’Jami’ fi Usul al’Hisab yang mengandung teori-teori ilmu matemetika dan matematika penganalisaan; Kitab al-Tahlil wa al’Tarkib mengenai ilmu geometri; Kitab Tahlil ai’masa’il al ‘Adadiyah tentang aljabar; Maqalah fi Istikhraj Simat al’Qiblah yang mengupas tentang arah kiblat; Maqalah fima Tad’u llaih mengenai penggunaan geometri dalam urusan hukum syarak; dan Risalah fi Sina’at al-Syi’r mengenai teknik penulisan puisi. 
9. Al-Jahiz
Al-Jahiz lahir di Basra, Irak pada 781 M. Abu Uthman Amr ibn Bahr al-Kinani al-Fuqaimi al-Basri, nama aslinya. Ahli zoologi terkemuka dari Basra, Irak ini merupakan ilmuwan Muslim pertama yang mencetuskan teori evolusi. Pengaruhnya begitu luas di kalangan ahli zoologi Muslim dan Barat. Jhon William Draper, ahli biologi Barat yang sezaman dengan Charles Darwin pernah berujar, ”Teori evolusi yang dikembangkan umat Islam lebih jauh dari yang seharusnya kita lakukan. Para ahli biologi Muslim sampai meneliti berbagai hal tentang anorganik serta mineral.” Al-Jahiz lah ahli biologi Muslim yang pertama kali mengembangkan sebuah teori evolusi.
Ilmuwan dari abad ke-9 M itu mengungkapkan dampak lingkungan terhadap kemungkinan seekor binatang untuk tetap bertahan hidup. Sejarah peradaban Islam mencatat, Al-Jahiz sebagai ahli biologi pertama yang mengungkapkan teori berjuang untuk tetap hidup (struggle for existence). Untuk dapat bertahan hidup, papar dia, makhluk hidup harus berjuang, seperti yang pernah dialaminya semasa hidup. Beliau dilahirkan dan dibesarkan di keluarga miskin. Meskipun harus berjuang membantu perekonomian keluarga yang morat-marit dengan menjual ikan, ia tidak putus sekolah dan rajin berdiskusi di masjid tentang sains. Beliau bersekolah hingga usia 25 tahun. Di sekolah, Al-Jahiz mempelajari banyak hal, seperti puisi Arab, filsafat Arab, sejarah Arab dan Persia sebelum Islam, serta Alquran dan hadis.[26] 
10. Ar-Razi (Razhes)
Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi atau dikenali sebagai Rhazes di dunia barat merupakan salah seorang pakar sains Iran yang hidup antara tahun 864 – 930. Ia lahir di Rayy, Teheran pada tahun 251 H./865 dan wafat pada tahun 313 H/925. Ar-Razi sejak muda telah mempelajari filsafat, kimia, matematika dan kesastraan. Dalam bidang kedokteran, ia berguru kepada Hunayn bin Ishaq di Baghdad. Sekembalinya ke Teheran, ia dipercaya untuk memimpin sebuah rumah sakit di Rayy.
Disamping itu,masih banyak juga ilmuwan-ilmuwan Islam pada periode ini diantaranya Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali yang ahli dalam hukum Islam, Al-farabi ahli astronomi dan matematika, Al-kindi ahli filsafat, Al-ghazali intelek yang meramu berbagai ilmu sehingga menjadi kesatuan dan kesinambungan dan mensintesis antara agama, filsafat, mistik dan sufisme . Ibnu Khaldun ahali sosiologi, filsafat sejarah, politik, ekonomi, social dan kenegaraan.[27]

D.    KEMUNDURAN PERADABAN ISLAM
Kemunduran peradaban Islam diawali sejak kota Bagdad sebagai pusat pemerintahan dan pusat peradaban Islam, jatuh ketangan kekuasaan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan. Dan seiring dengan berjalannya waktu, setelah peradaban Islam mencapai puncaknya, kemudian perlahan dan pasti mengalami kemunduran dengan cepat, bagaikan rembulan yang telah menjadi purnama, maka malam-malam berikutnya pasti akan menurun dan berkurang sinarnya.[28] Profesor Dr. George Sarton, mengatakan :

“Sebab hakiki setiap kemunduran adalah urusan dalam, bukan urusan luar. Jika secara kebetulan kita menyaksikan sebatang pohon tumbang lantaran amukan taufan, maka seharusnya janganlah kita mengutuk taufan itu atas penumbangannya terhadap pohon tersebut. Semestinya ditujukan pada pohon itu sendiri, karena kebusukan bagian dalamnya”.[29]

Dengan demikian semenjak jatuhnya kota Bagdad dan juga karena adanya factor-faktor yang lain, perkembangan stadi Islam sampai era kebangkitan Eropa (Reinasans) - dimana kebangkitan peradaban dan ilmu pengetahuan Barat Eropa - telah menghempaskan dan merobohkan pohon peradaban Islam klasik yang memang sudah rapuh dari dalam diri umat Islam sendiri.
Adapun faktor internal kemunduran Islam yang mungkin bisa dijadikan pelajaran bagi generasi berikutnya, seperti yang dikemukakan George Sarton antara lain :[30]
Pertama, matinya tradisi keilmuan. George S  mengatakan “ ... ilmu pengetahuan yang mereka miliki sudah cukup, dengan demikian ilmu pengetahuan berhenti disebabkan kejemuan dan permusuhan mereka pada pekerjaan piker memikir”[31] Mereka telah merasa puas dengan menikmati hasil prestasi yang telah dicapai oleh pemikir dan ilmuan terdahulu, sehingga mereka tidak merasa perlu lagi mencipta, merintis yang baru, berjihad dan berijtihad. Keprihatinan terhadap hal ini dikemukakan oleh Ayub Khan ketika menjadi Presiden Pakistandalam pidatonya, ”Kita tidak usah meratapi keruntuhan kerajaan Islam, tetapi yang harus diratapi ialah matinya kebebasan berpikir ilmiah dan melakukan penelitian”.[32]
Kedua, sikap ulama yang tertutup. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disikapi dengan apriori, reaksi fiqhiyah yang berlebihan. Bahkan Muhammad bin Abdul Wahab berpendapat,”Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang tidak didasarkan atas al Qur’an dan as Sunnah, atau ilmu yang bersumber kepada akal semata-mata”.[33]
Ketiga, tidak adanya apresiasi terhadap ilmu pengetahuan dan ahli ilmu pengetahuan. Di Sevilla, Ibnu Hazm dengan rasa sedih terpaksa harus membantu membakar buku-buku karangannya sendiri, hanya karena pemikirannya berbeda pendapat dengan madzhab resmi negara.
Keempat, hancurnya ketahan moril umat Islam, karena dihinggapi rasa wahn, yaitu hubbudun-ya wa karahiyatul mawt, kecintaannya pada dunia menyebabkan rasa ketakuatan akan kematian. Umat Islam dilanda sikap hidup foya-foya, korup dan individualis.[34] Ibnu Kaldun mengatakan,”Kemewahan itu merupakan pertanda bahwa peradaban suatu bangsa yang dibangun bakal mengalami kehancuran”.[35]

E.     STADI ISLAM ERA KONTEMPORER
Pasca runtuhnya peradaban Islam, filsafat mengalami perkembangan kembali pada abad modern yang diawali terlebih dahulu dengan adanya zaman Renissans, yaitu peralihan abad pertengahan ke abad modern. Zaman ini terkenal dengan era kelahiran kembali kebebasan manusia dalam berfikir yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Rusdy. Dunia Eropa menggeliat kembali dengan semangat kebebasan berpikir dengan munculnya gerakan averroism.[36]
Sejak zaman ini kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan pada kepercayaan dan kepastian intelektual (sikap ilmiah) yang kebenarannya dapat dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan dan pemikiran yang dapat diuji. Wacana filsafat yang menjadi topik utama pada abad modern khususnya abad ke-17 adalah persoalan epistemology. Pertanyaan pokok dalam bidang ini adalah bagaimana manusia memperoleh pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka dalam abad ke-17 muncullah dua aliran filsafat yang memberikan jawaban berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran tersebut adalah aliran rasionalisme dan empirisme.[37]
Kritisisme adalah aliran yang berusaha untuk menjembatani aliran rasionalisme dan empirisme. Tokoh aliran ini adalah filsuf Jerman yaitu Imanuel Kant. Namun, kehadiran aliran ini bukanlah batas akhir pertentangan pendapat aliran-aliran terdahulu. Justru setelah lahirnya aliran ini muncul lagi aliran-aliran lainnya. Aliran yang mendukung aliran kritisisme sekaligus rasionalisme yaitu aliran idealisme, maupun aliran yang mendukung aliran empirisme sekaligus kritisisme yaitu positivism.
Pada tahun 1934 Karl Popper mengumumkan karyanya yang berisi sangkalan terhadap positivisme. Ia memaparkan beberapa kelemahan fatal dari filsafat positivisme yang dikhotbahkan oleh salah satu tokoh aliran positivisme yaitu Alfred Jules Ayer. Alfred Jules Ayer berpendapat bahwa filsafat berdasar pada prinsip verifikasi.[38]. Namun, pada akhirnya diketahui falsifikasionisme Popperpun memiliki keterbatasan.teori-teori tidak dapat konklusif difalsifikasi, karena keterangan observasi yang menjadi dasar untuk falsifikasi itu sendiri mungkin salah dilihat dari perkembangan selanjutnya. Pengetahuan di zaman Copernicus tidak mengizinkan adanya kritik yang sah terhadap observasi yang menyatakan bahwa besarnya planet Mars dan Venus nampak konstan sehingga secara harfiah boleh dikatakan bahwa teori Copernicus itu dianggap telah difalsifikasi oleh keterangan observasi itu sendiri. Seratus tahun kemudian, falsifikasi itu dapat dibatalkan karena perkembangan baru dalam Optik.
Falsifikasi konklusif gugur karena kekurangan dasar observasi yang terjamin dengan sempurna, padahal falsifikasi itu tergantung dengannya. Dengan hanya memandang hubungan antara teori dengan keterangan observasi, kaum falsifikasionis gagal memperhitungkan kompleksitas yang terdapat dalam teori ilmiah yang penting-penting. Penekanan kaum falsifikasionis yang melakukan dugaan dan falsifikasi, tidak mampu mengkarakterisasi dengan memadai asal mula dan pertumbuhan teori-teori yang kompleks secara realitis. Perumusan yang layak seyogyanya adalah memandang teori sebagai suatu struktur yang utuh.
Pandangan tentang teori sebagai struktur yang kompleks adalah pandangan yang pernah dan kini masih mendapat banyak perhatian. Thomas Kuhn adalah filsuf yang memperkenalkannya dalam buku yang ia tulis, The Structure of Scientific revolution tahun 1962. Segi penting pendekatan yang digunakan Kuhn adalah pada teori Kuhn terdapat peranan penting yang dimainkan oleh sifat-sifat sosiologis masyarakat ilmiah dan pendekatan Kuhn yang menggunakan pandangan filosofis yang tahan menghadapi kritik yang berdasarkan sejarah ilmu. Paradigma kuhn juga dijadikan sebagai salah satu alasan terjadinya proses perkembangan pemikiran ilmu pengetahuan. Kemudian memasuki periode Kontemporer tahun terakhir hingga saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan di era  kontemporer ini diantaranya teknologi rekayasa genetika (genetic engineering), teknologi informasi, teori partikel elementer.
Hal berbeda terjadi di dunia Islam era kontemporer sampai saat ini, pada masa terakhir hingga saat ini umat Islam tertatih untuk bangkit dari keterpurukan spiritual. Intelektual Islam yang gigih menyeru umat Islam untuk kembali pada ajaran al-Quran dan Hadis. Pada masa krisis moral dan peradaban muncul ilmuwan lainnya yaitu Muhammad Abduh. Muhammad Abduh berusaha membangkitkan umat Islam untuk menggunakan akalnya. Ia  berusaha mengikis habis taklid. Hal tersebut dilakukan oleh Muhammad Abduh agara umat Islam menemukan ilmu yang berasal dari al-Quran dan hadits. Sejak itu maka di era kontemporer ini banyak muncul gerakan-gerakan pembaharu dan pemurni Islam diberbagai belahan dunia.
Meskipun kehadiran Barat telah memicu timbulnya respon dikalangan terpelajar muslim, kontak dengan Barat bukanlah satu-satunya aktor yang menyebabkan munculnya gerakan pembaruan dan pemurni dalam Islam. Di samping dalam batang tubuh doktrin doktrin Islam pembaharuan (tajdîd) merupakan sesuatu yang intern, kondisi objektif umat Islam sendiri yang secara umum ditandai oleh semakin memudarnya semangat keilmuan, kebekuan (jumûd) dibidang intelektual, dan berkembang pesatnya tradisi yang mendekati syirik, merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Faktor-faktor itu sekaligus juga merupakan tantangan kaum muslim, tidak hanya dalam tataran intelektual tetapi juga pada tataran empiris, seperti kekhalifahan yang berabad-abad bertahan dalam Islam mulai digugat.

F.     PENUTUP
Perkembangan dan kemajuan peradaban Islam tidak terlepas dari sikap umat Islam sendiri terhadap al qur’an dan hadits sebagai obyek kajian yang fundamental. Nilai-nilai dalam al qur’an dan hadits inilah yang mentinya menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan, dan sekaligus sebagai passion for change bagi umat Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Sejarah Islam era klasik telah menunjukan bagaimana Islam mampu mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban yang sangat mengagumkan. Hal ini tidak terlepas dari semangat nilai-nilai al qur’andan hadits yang memotifasi para ilmuwan Islam periode ini untuk membumikan nilai-nilai  tersebut dalam peradaban manusia. Semangat inilah yang mestinya harus tetap ada dalam diri umat Islam di era modern dan kontemporer ini.
Bangkit, itu mungkin sebuah kata yang harus senantiasa kita dangang-dengungkan untuk memotifasi umat Islam mengejar ketertinggalan di bidang ilmu pengetahuan dan tehnologi di era modern dan kontemporer ini. Apa yang sudah terjadi pada masa lalu tidak perlu diratapi dan disesali karena itu sudah menjadi bagian dari sejarah. Menyimak apa yang dikatakan Ayub Khan ketika menjadi Presiden Pakistan dalam pidatonya, ”Kita tidak usah meratapi keruntuhan kerajaan Islam, tetapi yang harus diratapi ialah matinya kebebasan berpikir ilmiah dan melakukan penelitian”, maka umat Islam perlu senantiasa berbenah diri.


[1] Abdul Hasan Ali Al Husni An Nadwi, Pertarungan Alam Pikiran Islam dengan Alampikiran Barat di Negara-Negara Islam,cet.1 (Bandung: PT. Almaarif, 1965), 176
[2] M. Natsir, Cultuur Islam,cet.1 (Bandung: Pendodikan Islam bag. Penyiaran. 1937), 15
[3] Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Culture, alih bahasa Jahdan HS (Yogyakarta, Kota Kembang, 1989)
[4] Ibid., 16
[5] L.W.H. Hull, History and Philosophy of Science : An Introduction (London: Longmans, 1959),
[6] Hasan Ibrahim Hasan , Islamic History and Culture, 134, pengibaratan atas wilayah Eropa yang sangat luas namun keadaan masyarakatnya yang berada dalam kebodohan yang teramat sangat.
[7] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), 55
[8] Ibid.,56
[9] Ibid., 57, mengenal gerakan penterjemah ini lihat lebih lanjut De Lacy O’leary D.D.,How Greek Science passed to the Arabs (London: Routledge & Kegen Paul Ltd, 1964)
[10] M. Masyhur Amin, Dinamika Islam : Sejarah Transformasi dan Kebangkitan, cet. 2 (Yogyakarta: LKPSM, 1996), 58
[11] George Sarton, The Incubation of Western Culture in the Middle East, alih bahasa oleh Ridan As Sagaf (Surabaya: Pustaka Progresif, 1977) 53
[12] Prof. Drs. Sutrisno Hadi, MA, Metodologi Research I (Yogyakarta, Andi Yogyakarta, 2004), 13
[13] Jujun S Suriasumantri, Filsafat ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta : Pustaka sinar Harapan,1993), 42
[14] Ibid,. 42
[15] Amsal Bachtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Reja Grafindo Persada, 2004),23
[16] Ibid,. 24
[17] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1969),
[18] Takwin
[19] Komarudin Hidayat, Atasa Nama Agama : Wacana agama dalam dialog bebas konflik, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998, hal. 41-42
[20] Ibid,. 42
[21] H.A.R. Gibb, Wither Islam (London : Gollancz, 1932)
[22] Amsal Bachtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Reja Grafindo Persada, 2004),25
[23] Nasution, Faruq, Islam dan Peradaban ( Jakarta: Hikma Islamic Liberary, 2007), 45
[24] Ibid,.46
[25] Ibid,. 47
[26] Ibid,. 56
[27] Ibid,. 57
[28] M. Masyhur Amin, Dinamika Islam : Sejarah Transformasi dan Kebangkitan, cet. 2 (Yogyakarta: LKPSM, 1996), 58
[29] George Sarton, The Incubation of Western Culture in the Middle East, alih bahasa oleh Ridan As Sagaf (Surabaya: Pustaka Progresif, 1977) 53
[30] M. Masyhur Amin, 59
[31] Ibid,. 59
[32] Sultan Takdir Alisyahbana : Sumbangan Islam kepada Kebudayaan Dunia yang Lampau dan Masa Yang Akan Datang, Al Jami’ah, 19, Th.XV/1978, 150
[33] Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam,(Jakarta: Pustaka Al Husna, 1999,) 59
[34] M. Masyhur Amin, 60
[35] Osman Raliby, Ibnu Chaldun tentang Masyarakat dan Negara,(Jakarta : Bulan Bintang, 1961), 242
[36] Hasan Ibarahim Hasan, 321
[37] Amsal Bakhtiar,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar