Haje Abdoel Hakim bin Haje Noer Chamid bin Haje Abdoel Ishaq bin Haje Abdoel Salam lahir di Kebumen 26 Nopember 40 tahun yang lalu, beristrikan Sri Lestari Rahayu binti Haje Moechammad Bachroedin, terlahir anak-anak Nur Nayla Rahma, Nur Kamalia Zulfa, Achmad Mumtaz kamal dan Achmad Nazih Fikri

Sabtu, 10 November 2012

BUDAYA WALIMATUSSAFAR

 (Studi Islam Pendekatan Antropologis )

Atam Ruba’i Hamid

A.    PENDAHULUAN
Studi Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies, secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, dengan perkataan lain usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah, maupun praktek-praktek pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.[1]
Usaha mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi keIslaman dikalangan umat Islam sendiri tentunya sangat berbeda tujuan dan motifasinya dengan yang dilakukan oleh orang-orang diluar kalangan umat Islam. Dikalangan umat Islam, studi keIslaman bertujuan untuk mendalami dan memahami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar, sedangkan diluar kalangan umat Islam, studi keIslaman bertujuan untuk mempelajari seluk beluk agama dan praktek keagamaan yang berlaku dikalangan umat Islam, yang semata-mata hanya sebagai sebuah ilmu pengetahuan.[2]
Islamic Studies sebagai bidang kajian dan penelitian ilmiah menjadikan Alqur’an dan Sunnah sebagai obyek kajian yang fundamental. Alquran dan Sunnah dikembangkan oleh umat Islam dalam spektrum seluas-luasnya, prinsip semua ilmu dalam pandangan umat Islam terdapat dan bersumber dalam Alquran dan Sunnah, Alquran dan Sunnah menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dengan menekankan pada kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu, pencarian ilmu dalam segi apapun pada akhirnya bermuara pada penegasan tauhid.
Prof. H.A.R. Gibb dalam bukunya Wither Islam mengatakan bahwa,”Islam is indeed much more than a system of theology; it is a complete civilization”, sebuah pengakuan jujur dari seorang ahli yang tidak dipengaruhi oleh fanatisme agama, mengatakan bahwa Islam itu sesungguhnya lebih dari sebuah sistem kepercayaan atau agama saja, Islam adalah satu kebudayaan atau peradaban yang lengkap.[3]
Agama selalu mencakup dua entitas yang tidak dapat dipisahkan akan tetapi dapat dibedakan satu sama lainnya, yaitu normativitas (teks, ajaran, belief, dogma) dan historisitas (praktik dan pelaksanaan ajaran, teks, belief, dogma tersebut dalam kehidupan konkrit di masyarakat).[4] Agama bukanlah hanya sekedar lambang kesalehan umat atau topik-topik dalam kitab suci umat beragama, namun lebih dari itu, secara konsepsional kehadiran agama semakin dituntut aktif untuk menunjukkan cara-cara paling efektif dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Untuk itu, studi agama - dalam hal ini studi Islam - bukanlah hanya sekedar pemahaman dengan pendekatan normative, namun juga harus dilengkapi dengan pendekatan lain yang secara operasional konseptual dapat memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan umat.[5]
Apabila agama diletakkan dalam sebuah kerangka penelitian sebagai suatu usaha akademisi, maka ada dua wilayah analisis dalam agama tersebut yang dapat dijadikan obyek penelitian :[6]
1. Agama sebagai doktrin (normativitas).
Penelitian agama sebagai doktrin artinya menganalisis apa substansi dari ajaran agama tersebut dan refleksi dari substansi keagamaan ini, kemudian bagaimana perkembangan pemikiran para pemeluknya dalam menafsirkan doktrin-doktrin agama tersebut, sehingga penelitian agama dalam wilayah ini berputar sekitar konsep-konsep dan idea-idea yang bermuara pada aspek kognitif.
2. Agama sebagai budaya yang telah termanifestasi dalam dinamika masyarakat, struktur dan perilaku masyarakat (historisitas).
Penelitian dalam wilayah ini yang dianalisis bukan lagi dari satu konsep kepada konsep atau satu perkembangan pemikiran kepada perkembangan pemikiran yang lain tetapi mengukur sejauhmanakah tatanan masyarakat tersebut merupakan pantulan dari keharusan doktrin agama . Pada wilayah kedua inilah penelitian agama banyak melibatkan ilmu-ilmu humaniora yang dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial yang lain seperti sosiologi, antropologi, sejarah dan lain-lain.
Memang diakui bahwa antara agama dan budaya adalah dua bidang yang berhubungan dan tidak dapat dipisahkan, akan tetapi keduanya berbeda. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan pada agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, agama berdasarkan pada budaya. Oleh karena itu bisa dikatakan agama adalah primer dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena itu kebudayaan sub ordinat terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya.[7]
Kemudian lantaran rumit dan kompleknya situasi yang dihadapi dalam studi Islam, maka pendekatan Antropologis terhadap  agama sangat diperlukan untuk memberi wawasan keilmuan yang lebih komprehensif tentang entitas dan substansi agama yang sampai sekarang masih dianggap sangat penting untuk membimbing kehidupan umat manusia baik untuk kehidupan pribadi, komunitas, sosial, politik maupun budaya para penganutnya.[8]
Pendekatan antropologis bercorak deskriptif, melukiskan dan memaparkan apa adanya dari realitas yang ada, dan bukannya normative. Pendekatan antropologis harus bersikap jujur, apa adanya, tanpa ada muatan interes-interes atau kepentingan tertentu (golongan, ras, etnis, agam, gender, minoritas-mayoritas) untuk tidak membuat peta  (keagamaan manusia) apa adanya.[9] Kerangka studi pendekatan antropologis adalah kebudayaan, sebuah usaha untuk mengurai kebudayaan atau aspek-aspek kebudayaan.[10]
Dengan demikian, pendekatan antropologis dalam studi agama, dalam hal ini studi Islam sangatlah diperlukan untuk memahami suatu obyek secara utuh. Hasil kajian Antropologi terhadap realitas kehidupan konkrit di lapangan akan dapat membantu tumbuhnya saling pemahaman antar berbagai paham dan penghayatan keberagamaan yang sangat bermacam-macam dalam kehidupan riil masyarakat Islam baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional. Adapun obyek Islam dimaksud disini adalah Islam yang telah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, Islam yang telah melembaga dalam kehidupan suku, etnis,  kelompok atau bangsa  tertentu, Islam yang telah  terinstitusionalisasi dalam kehidupan organisasi sosial, budaya, politik dan agama, Islam yang terlembaga dalam kehidupan masyarakat yang menganut madzhab-madzhab,  pengikut  berbagai sekte, partai-partai  atau  kelompok-kelompok kepentingan tertentu.[11] 
Ketika praktik-praktik keagamaan lokal, sebagai hasil interpretasi para aktor fakih (para ahli agama) di lapangan ketika berjumpa dengan tradisi dan adat setempat-lokal (local practices), maka  disinilah  masalah terbesar, yang memerlukan studi Islam dalam mengkaji dan memberikan solusi terhadap proses alkulturasi yang terjadi agar tidak menimbulkan ketegangan dan konflik dalam masyarakat.[12] Dengan demikian, pendekatan antropologis dalam dalam studi Islam sangatlah diperlukan keberadaannya, dan Antropologi sebagai ilmu pengetahuan dalam mencapai kesatuan pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah yang meliputi pengumpulan fakta, penentuan ciri-ciri umum dan sistem, dan verifikasi.[13]
Berangkat dari uraian di atas, penulis mencoba mengadakan studi kritis terhadap  praktik keagamaan local - budaya walimatussafar - dalam bingkai studi Islam dengan pendekatan antropologis untuk mengkaji dan memberi solusi terhadap budaya walimatussafar. Budaya ini memang bila ditelusuri secara entitas normativitas (teks, ajaran, belief, dogma), maka dapat dipastikan bahwa dalam agama Islam tidak dikenal perayaan keberangkatan haji atau walimatussafar, atau dengan kata lain hal ini tidak tersurat dalam AlQur’an dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun kemudian apakah segala hal yang tidak tersurat dalam Alqur’an dan tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW secara otomatis dikatakan dlalah atau sesat?, sementara kalau melihat ritual dan makna yang terkandung didalamnya mempunyai nilai-nilai adiluhung, nilai-nilai kebaikan dan kemashlahatan.

B.     METODE ILMIAH DARI ANTROPOLOGI
Atropologi sebagai suatu disiplin ilmu masuk dalam rumpun humaniora. Antropologi berasal dari bahasa Yunani anthropos yang berarti manusia, dan logos yang berarti ilmu. Koentjaraningrat mendefinisikan antropologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat, serta kebudayaan yang dihasilkannya.[14] Kemudian lebih lanjut, William A. Haviland mengemukakan bahwa Antropologi merupakan studi tentang umat manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.[15]
Secara akademik ilmu Antropologi bertujuan untuk mencapai pengertian tentang mahluk manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna bentuk fisiknya, masyarakatnya serta kebudayaannya dengan menggunakan metode ilmiah. Metode ilmiah dari Antropologi sebagai suatu ilmu pengetahuan adalah segala jalan atau cara dalam rangka ilmu tersebut untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan. Kesatuan pengetahuan ini dapat dicapai melalui tingkatan pengumpulan data, penentuan ciri-ciri umum dan sistem, dan verifikasi.[16]
Sehingga dapat dipahami bahwa Antropologi adalah studi yang mempelajari manusia dalam aspek kehidupannya dan dalam hubungannya dengan orang lain dalam sebuah tatanan masyarakat sehingga menghasilkan pemahaman terhadap hal-hal yang bersifat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat yang dimaksud. Dari sinilah maka ilmu Antropologi dibedakan menjadi dua, yaitu Antropologi Biologi (fisik atau ragawi) sebuah ilmu yang berusaha mempelajari sejarah terjadinya anekawarna mahluk manusia dipandang dari sudut cirri-ciri tubuhnya, dan Antropologi Budaya yaitu sebuah ilmu yang berusaha mempelajari  kebudayaan manusia, baik dari segi jasmani, rohani, kejiwaan, sosial maupun budaya yang berkembang dalam masyarakt.[17]
Adapun cara kerja  pendekatan Antropologis terhadap studi agama, menurut Amin Abdullah setidaknya ada 4 (empat) ciri fundamental yaitu :[18]
Pertama, pendekatan Antropologi bercorak descriptive. Pendekatan Antropologi bermula dan diawali dari kerja lapangan  (field work),  berhubungan  dengan orang, masyarakat, kelompok setempat yang diamati  dan diobservasi dalam jangka waktu yang lama dan mendalam.  Inilah yang biasa disebut dengan  thick description (pengamatan dan observasi di lapangan yang dilakukan secara serius, terstuktur, mendalam dan berkesinambungan), yang dapat dilakukan  dengan cara antara lain Living in , yaitu  hidup bersama masyarakat yang diteliti, mengikuti  ritme dan pola hidup sehari-hari mereka dalam waktu yang cukup lama.
Kedua, yang terpokok dilihat oleh pendekatan antropologi  adalah local practices , yaitu praktik konkrit dan nyata di lapangan. Praktik hidup yang dilakukan sehari-hari, agenda mingguan, bulanan dan tahunan, lebih-lebih ketika manusia melewati hari-hari  atau peristiwa-peristiwa penting dalam menjalani  kehidupan. Ritus-ritus atau amalan-amalan apa saja yang dilakukan untuk melewati peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan tersebut (rites de pessages), seperti persitiwa  kelahiran, perkawinan, kematian, penguburan dan apa yang dilakukan oleh manusia ketika menghadapi dan menjalani ritme kehidupan yang sangat penting tersebut.
Ketiga, pendekatan antropologis selalu mencari keterhubungan dan keterkaitan antar berbagai domain kehidupan  secara lebih utuh (connections across social domains), seperti bagaimana hubungan antara wilayah  ekonomi,  sosial, agama, budaya dan politik. Karena kenyataannya, hampir-hampir tidak ada satu domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri, terlepas dan tanpa terkait dan terhubung dengan lainnya.
Keempat, pendekatan Antropologis bersifat perbandingan (comparative). Pendekatan antropologis memerlukan perbandingan dan pembanding dari berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama yang berkembang dalam masyarakat.  Talal Asad menegaskan bahwa :

 What is distinctive about modern anthropology is the comparisons of embedded concepts (representation) between societies differently located in time or space. The important thing in this comparative analysis is not their origin (Western or non-Western), but the forms of life that articulate them, the power they release or disable.”[19]

Dalam hal ini Cliffort Geertz pernah memberi contoh dari hasil penelitiannya bagaimana dia membandingkan kehidupan Islam di Indonesia dan Marokko.  Penelitiannya bukan sekedar untuk mencari kesamaan dan perbedaan, tetapi yang terpokok adalah untuk memperkaya perspektif  dan memperdalam bobot kajian.  Pendekatan Antropologis studi komparatif sangat membantu memberi perspektif baru  baik dari kalangan outsider maupun outsider.[20]

C.    PENDEKATAN ANTROPOLOGIS TERHADAP BUDAYA WALIMATUSSAFAR
Penelitian pada hakikatnya merupakan wahana untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan oleh para filosof,peneliti maupun oleh para praktisi melalui model-model tertentu. Model tersebut biasanya dikenal dengan paradigma, yaitu kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan pada cara berpikir dan melakukan penelitian.[21]
        Ada bermacam-macam paradigma, tetapi yang mendominasi dibidang ilmu pengetahuan diantaranya paradigma ilmiah (scientific paradigm) yang bersumber dari pandangan positivisme, dan paradigma alamiah (naturalistic paradigm) yang bersumber pada pandangan fenomenologis. Pandangan fenomenologis berusaha memahami perilaku manusia dari segi kerangka berpikir maupun bertindak dalam masyarakat terhadap suatu budaya tertentu. Pandangan fenomenologis mula-mula bersumber dari pandangan Max Weber yang kemudian diteruskan oleh Irwin Deutcher.[22]
        Walimatussafar merupakan salah satu budaya yang berkembang dalam masyarakat Islam dewasa ini, khususnya di Indonesia. Budaya ini merupakan sebuah walimah atau upacara keagamaan yang berkenaan dengan keberangkatan seorang atau lebih dari anggota masyarakat ketika akan menjalankan ibadah haji ke tanah suci Makkah dan Madinah. Budaya ini muncul diperkirakan sekitar tahun 1950’an, dan budaya ini diyakini mengandung banyak nilai-nilai adiluhung, nilai-nilai kebaikan dan kemashlahatan bagi masyarakat.
Ketika disebut local practices (praktik-praktik keagamaan local) sebagai hasil interpretasi para aktor di lapangan ketika berjumpa dengan tradisi dan adat setempat-lokal, maka disinilah  sesungguhnya masalah terbesar muncul dalam studi Islam. Permasalahan ini dalam studi Islam, khususnya dari literatur hadis dikenal yang berkenaan dengan  istilah bid’ah,  baik yang hasanah maupun sayyiah. Dengan sedikit menyederhanakan, praktik budaya lokal seringkali dianggap telah keluar dari ajaran Islam yang otentik, sedangkan menurut Antropolog justru praktik lokal inilah yang harus diteliti dan dicermati dengan sungguh-sungguh untuk dapat mememahami tindakan dan kosmologi keagamaan manusia secara lebih utuh.

D.    BUDAYA WALIMATUS SAFAR
Bagi masyarakat muslim Indonesia, ibadah selalu diperlengkapi dengan berbagai macam tindakan atau ritual-ritual keagamaan yang menunjang rangkaian-rangkaian ibadah itu sendiri. Keberadaan rangkaian ritual keagamaan ini sering kali diyakin oleh masyarakat menjadi penyempurna dari suatu ibadah tersebut. Dan ritual-ritual keagamaan ini selanjutnya lebih dikenal dengan istilah tradisi local (local practices).
Tradisi local yang hidup dalam masyarakat tersebut sebagian besar merupakan hasil dari keterpengaruhan antara budaya local dengan Islam (alkulturasi budaya), atau hasil interprestasi dan pemahaman  keagamaan Islam dan praktiknya di lapangan yang dilakukan oleh para fakih (para ahli agama). Kita mengenal budaya ngabuburit, kultum, kolak, buka puasa bersama, mudik dan lain sebagainya di sekitar puasa, kemudian kita juga mengenal tahlilan, talqin, tujuh hari dan seterusnya dalam tradisi kematian, begitu juga kita mengenal akhir-akhir ini budaya Walimatussafar dalam rangkaian ibadah haji.
Tradisi walimatussafar tidaklah muncul begitu saja, ia memiliki sejarah panjang. Sejarah itu menunjukkan bahwa berbagai tradisi tersebut dilahirkan melalui pemikiran dan perenungan yang dalam oleh para kyai dan ulama pendahulu melalui berbagai pertimbangan dari aspek sosial, budaya, politik dan agama. Hal ini merupakan karakter khas Islam di Indonesia yang tidak dimiliki oleh Islam di negara-negara lain di dunia. Namun apa yang dilakukan para ulam terdahulu ini, bukanlah sekedar istinbath al-hukmi akan tetapi lebih dari itu, bahkan menciptakan lahan ibadah tersendiri yang dapat diisi dan dipenuhi sebagai ladang pahala bagi yang menjalankannya.[23]
Tradisi lokal yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Islam di Indonesia, erat kaitannya dengan metode dakwah yang telah dilakukan oleh para wali/sunan di Indonesia pada periode-periode awal. Metode “Tutwuri Ha Ngiseni” dalam arti mengikuti dan tidak menghilangkan tradisi yang sudah ada dalam masyarakat, namun kemudian dimasukkan unsur-unsur  ajaran Islam di dalamnya,sehingga kemudian memunculkan tradisi local yang merupakan buah dari akulturasi budaya yang ada.[24]
Walimatussafar merupakan sebuah budaya yang masuk dalam rangkaian tradisi local keagamaan yang mengiring-iringi dalam ibadah haji. Kegiatan ini biasanya berisi silaturahmi, pamitan, permohonan maaf, permohonan do’a restu dan sekaligus tasyakuran atas nikmat yang telah diterima sehingga seseorang dapat melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Makkah dan Madinah. Hal ini dilakukan sebagai salah satu usaha untuk mencapai derajat kemabruran pasca menjalankan ibadah haji, karena mereka memandang sesuatu tujuan suci dan mulai harus pula diawali dengan suatu kegiatan pensucian diri.[25]
Silaturahmi dalam arti budaya walimatussafar dijadikan sarana berkumpulnya segenap sanak famili, handai tolan dan sahabat untuk saling bersilaturahmi,  Pamitan dalam arti mohon diri karena akan meninggalkan kampung halaman dan masyarakatnya dalam waktu yang cukup lama. Permohonan maaf, dalam arti peleburan semua kesalahan yang mungkin terjadi selama berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat baik yang disengaja maupun tidak. Hal ini dianggaap sangat penting, karena salah satu keyakinan yang hidup dalam masyarakat bahwa ibadah haji ada kalanya jadi “pengelehan” atas perilaku seseorang selama hidup dalam masyarakatnya. Permohonan do’a restu, dalam arti permohonan restu dan do’a keselamatan selama menjalankan ibadah haji dan sekaligus permohonan keselamatan dan penjagaan atas keluarga dan harta yang ditinggalkan selama menjalankan ibadah haji. Tasyakuran, dalam arti, ujud rasa syukur kepada Alloh SWT atas rejeki dan kesempatan yang telah diberikan sehingga dapat menjalankan ibadah haji. Hal ini berkenaan dengan syarat istito’a dalam babul hajj yang pemahamannya lebih berorientasi pada kemampuan atas ongkos, biaya dan harta sehingga berkewajiban haji seseorang.
Budaya walimatussafar semakin berkembang dan exis dalam masyarakat disamping karena tujuan-tujuan mulya yang ada di dalamnya, juga tidak terlepas dari legalitas formal yang berupa teks-teks, ajaran-ajaran dan dogma-dogma normative yang disampaikan oleh para fakih (para ahli agama) atau ulama/kyai sebagai pemimpin non formal dalam masyarakat. Masyarakat yakin dan percaya bahwa para fakih (para ahli agama) pendahulu tidak mungkin mewariskan suatu tradisi budaya kepada anak-cucunya sebuah bid’ah tanpa alasan tertentu.
Kemudian bila ditelusuri secara entitas normativitas (teks, ajaran, belief, dogma), maka dapat dipastikan bahwa dalam agama Islam memang tidak dikenal perayaan keberangkatan haji ini atau walimatussafar, atau dengan kata lain hal ini tidak tersurat dalam Alqur’an dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun tidaklah segala hal yang tidak tersurat dalam Alqur’an dan tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW secara otomatis dikatakan dlalah atau sesat, karena budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat diyakini mempunyai dan mengandung nilai-nilai adiluhung, kebaikan dan kemashlahatan bagi kehidupan. Walaupun sebagian banyak tradisi tersebut merupakan hasil dari keterpengaruhan antara budaya local dengan Islam (alkulturasi budaya), atau hasil interprestasi dan pemahaman  keagamaan Islam dan praktiknya di lapangan  yang dilakukan oleh para fakih (para ahli agama)
Ketidakadaan dalil syar’i dalam Alqur’an dan Sunnah secara tekstual bukan berarti budaya Walimatussafar keberadaannya dalam masyarakat menjadi lemah dan tanpa dasar apapun. Hal ini karena keberadaan budaya ini dalam masyarakat sudah diakui oleh anggota masyarakat dan didukung oleh para fakih (para ahli agama) dengan memberikan legalitas formal yang berupa teks, ajaran dan dogma normative secara kontektual yang berkenaan dengan hal ini sebagai penguat dalam masyarakat, tentunya melalui istinbat hukum dikalangan mereka.
Adapun dasar-dasar legalitas formal yang berkembang dalam masyarakat menurut beberapa tokoh agama dan masyarakat,[26] baik yang merujuk pada Alqur’an, sunnah, Ijma’, Qiyas maupun Istihsan dan lain sebagainya, diantaranya :
1.      Alqur’an surat Ibrohim ayat 7,


Artinya : Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".[27]

Walimatus sawar dianggap cara untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Alloh SWT atas nikmat dan kesempatan yang telah diberikan sehingga bisa menjalankan ibadah haji, dalam tiga dimensi sekaligus yaitu syukur  bil lisan, bil qolbi dan bil arkan.[28] Dan masyarakat juga menyakini bahwa ibadah haji adalah “timbalan” dari Alloh SWT, maka sudah semestinya harus disyukuri agar senantiasa ditambah nikmat-nikmatnya oleh Alloh SWT.
Disamping itu, masyarakat juga menyakini bahwa seberapa besar biaya ibadah hari (ONH dan biaya lain-lainnya) pasti akan dikembalikan oleh Alloh SWT, sehingga mereka tidak merasa “eman-eman” dalam hal ini. Dalil syar’i yang mendukung dan berkembang dalam masyarakat mengenai hal itu diantaranya sabda Rosululloh SAW,[29]

النفقة فى الحج كالنفقة فى سبيل الله الدرهم بسبع مائة ضعف  رواه احمدوالترمذى

2.      Sunnah / Hadits
عن جابر بن عبدالله رضى الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم لماقدم المدينة نحر جزورا اوبقرة (صحيح البخارى, باب الطعم عند القدوم)

Artinya: hadits diceritakan oleh Jabir bin Abdullah ra. Bahwa ketika Rasulullah saw datang ke madinah (usai melaksanakan ibadah haji), beliau menyembelih kambing atau sapi (Shahih Bukhari, babut  Ta’mi indal qudum)

3.      Sumber-sumber lain, diantaranya :

a. Keterangan dalam al-Fiqhul Wadhih,

يستحب للحاج بعد رجوعه الى بلده ان ينحر جملا او بقرة او يذبح شاة للفقراء والمساكين والجيران والاخوان تقربا الى الله عزوجل كمافعل النبي صلى الله عليه وسلم
  
Artinya: Disunnahkan bagi orang yang baru pulang haji untuk menyembelih seekor onta atau sapi atau kambing untuk diberikan kepada faqir, miskin, tetangga, saudara. Hal ini dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt seperti yang dilakukan Rasulullah saw.[30]

b. Kaidah Ushul Fiqh:
المصلحة دليل شرعي مستقل عن النصوص
Artinya : Kepentingan umum adalah dalil syari’i yang kehujjahannya mandiri tak tergantung pada konfirmasi teks atau nash.[31]

استقلال العقول باء دراك المصالح والمفاسد دون التعلق بالنصوص
Artinya : Akal mempunyai otoritas untuk menentukan baik bruruk (mashalih-mafasid) tanpa tergantung pada teks.

مجال العمل بالمصلحة هو المعاملة و العادة دون العبادات
Artinya : Lapangan pemberlakuan “kepentingan umum” adalah bidang hubungan antar manusia dan tradisi, bukan dalam bidang ibadah mahdhah.[32]

Kemudian setelah kita memahami profil secara utuh tentang walimatussafar ini, lantas pantaskah kita dengan serta merta menyebut, mengidentikkan dan menyakini bahwa perbuatan ini dikatakan bid'ah dan oleh karena itu maka diharamkan dalam agama?.
Untuk mengurai masalah ini tersebut di atas, maka studi agama dengan pendekatan Antropologis mencoba menggali data dan fakta melalui :
1. Tinjauan Agama dan Sejarah
Bila ditelusuri secara literal, dapat dipastikan bahwa dalam agama Islam memang tidak dikenal perayaan keberangkatan haji ini, apalagi menggunakan istilah walimah, atau dengan kata lain hal ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun disisi lain, kalau melihat ritual acaranya sendiri jelas di dalamnya terkandung nilai-nilai adiluhung, nilai-nilai kebaikan dan kemashlahatan bagi pelaku dan masyarakat. Dilihat dari sisi sejarah, ritual walimatussafar masih terbilang muda, namun sesungguhnya embrio ritual ini sendiri sudah begitu mengakar dalam masyarakat beribu tahun yang lalu.
2. Tinjauan Budaya dan Nilai Ibadah
Bagi siapapun utamanya calon haji , menjadi tamu Alloh SWT atau “mendapat undangan haji tentulah merupakan kesempatan yang langka dan penuh kesan bahagia bagi pelakunya tersendiri. Momen ini amatlah istimewa, mengingat untuk mendaftar dan menunggu mendapat porsi sampai dengan keberangkatanya saja membutuhkan sedikitnya  5 sampai dengan 10 tahun, sebuah masa penantiaan yang amat panjang.  Begitu istimewa dan sakralnya ibadah ini, maka para calon haji sebelum bertamu dan memenuhi undangan Allah SWT berusaha terlebih dahulu membersihkan diri lahir dan bathin dalam dimensi agama, social dan masyarakat. Dan sangatlah tidak mungkin  pembersihan diri (permohonan maaf) dalam dimensi di atas dilakukan oleh calon haji home to home pada semua sanak kerabat, handai tolan dan sahabatnya mengingat waktu dan tenaga yang sangat terbatas. Untuk itu guna menghindari timbulnya kesulitan yang lebih besar serta didorong oleh motif (i'tikad) yang baik untuk mengadakan silaturahmi dan ta'aruf maka digelarlah acara yang kemudian populer dengan istilah Walimatus Safar.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kegiatan yang jelas-jelas menurut akal sehat merupakan amalan baik ini kemudian dikatakan bid'ah dan sesat? Tentu tidak bijaksana bila kita menganggap ini terlarang dilakukan. Budaya walimatussafar itu merupakan budaya yang baik, budaya ini berada di luar rangkaian ibadah haji oleh karenanya bukan kesatuan yang terikat oleh rangkaian ibadah haji itu sendiri maka tidak dapat dikatakan satuan ibadah tersendiri, namun demikian menjadi amal yang bernilai ibadah. Karena di budaya walimatussafar ini terkandung muatan silaturahmi, permohonan maaf , pamitan, permohonan doa restu, tasyakuran bahkan ada kalanya dilengkapi pula dengan santunan anak yatim, taushiyah agama, sodakoh dan kebaikan-kebaikan lainnya.  Bukankah semua yang mencakup hal kebaikan yang diridlai Allah adalah mempunyai nilai ibadah ?. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Ibnu Alan Al-Syafi'i al-Asy'ary :[33]
   العبادة كل اسم جامع لما يحبه الله و يرضاه
Artinya : Ibadah adalah semua hal yang mencakup apa yang disukai dan diridlai Allah

Adanya budaya walimatussafar dalam masyarakat seakan-akan sudah menjadi suatu kebutuhan, dan apa bila ditinggalkan justru akan mengurangi nilai-nilai yang terkandung dalam rangkaian ritual haji bagi si pelaku khususnya. Alangkah lucunya manakala masyarakat, sanak kerabat dan handai taulan kehilangan anggotanya  selama 40 hari tanpa pamitan (main slonong saja) - ternyata sedang melaksanakan haji - tentu kesannya akan sangat berbeda  baik bagi si pelaku maupun masyarakat. Disamping itu, budaya walimatussafar ini juga dapat digunakan sebagai alat untuk memotifasi masyarakat dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam, terutama ibadah haji. Sehingga cepat atau lambat, disadari atau tidak disadari budaya walimatussafar ini akan menjadi suatu kebutuhan kolektif, dan dengan sendirinya akan menjadi tradisi budaya yang mengakar dalam masyarakat Indonesia.

E.     PENUTUP
        Agama dan budaya adalah dua bidang yang berhubungan dan tidak dapat dipisahkan, akan tetapi keduanya berbeda. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan pada agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, agama berdasarkan pada budaya. Oleh karena itu bisa dikatakan agama adalah primer dan budaya adalah sekunder.  
        Ketika praktik-praktik keagamaan lokal, sebagai hasil interpretasi para aktor fakih (para ahli agama)  di lapangan ketika berjumpa dengan tradisi dan adat setempat/lokal (local practices), maka disinilah  masalah terbesar, yang memerlukan studi Islam dalam mengkaji dan memberikan solusi terhadap proses alkulturasi yang terjadi antara agama dan tradisi/budaya, agar tidak menimbulkan ketegangan dan konflik dalam masyarakat yang plural dan majemuk.
        Walimatussafar merupakan sebuah budaya yang masuk dalam rangkaian tradisi local keagamaan (local practices) yang mengiring-iringi dalam ibadah haji. Kegiatan ini biasanya berisi silaturahmi, pamitan, permohonan maaf, permohonan do’a restu dan sekaligus tasyakuran atas nikmat yang telah diterima sehingga seseorang dapat melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Makkah dan Madinah. Hal ini dilakukan sebagai salah satu usaha untuk mencapai derajat kemabruran pasca menjalankan ibadah haji, karena mereka memandang sesuatu tujuan suci dan mulai harus pula diawali dengan suatu kegiatan pensucian diri.
        Ketika disebut local practices (praktik-praktik keagamaan local) sebagai hasil interpretasi para aktor di lapangan ketika berjumpa dengan tradisi dan adat setempat-lokal, maka disinilah  sesungguhnya masalah terbesar muncul dalam studi Islam. Permasalahan ini dalam studi Islam, khususnya dari literatur hadis dikenal yang berkenaan dengan  istilah bid’ah,  baik yang hasanah maupun sayyiah. Dengan sedikit menyederhanakan, praktik budaya lokal seringkali dianggap telah keluar dari ajaran Islam yang otentik, sedangkan menurut antropolog justru praktik lokal inilah yang harus diteliti dan dicermati dengan sungguh-sungguh untuk dapat mememahami tindakan dan kosmologi keagamaan manusia secara lebih utuh.
        Walimatussafar merupakan salah satu budaya yang berkembang dalam masyarakat Islam dewasa ini, khususnya di Indonesia. Budaya ini merupakan sebuah upacara keagamaan yang berkenaan dengan keberangkatan seorang atau lebih dari anggota masyarakat ketika akan menjalankan ibadah haji ke tanah suci Makkah dan Madinah. Budaya ini muncul diperkirakan sejak tahun 1970’an, namun embrio budaya ini sudah sekian lama tertanam dalam rahim masyarakat karena diyakini mengandung banyak nilai-nilai kebaikan.
Ketidakadaan dalil syar’i dalam Alqur’an dan Sunnah secara tekstual bukan berarti budaya walimatussafar keberadaannya dalam masyarakat menjadi lemah dan tanpa dasar apapun. Hal ini karena keberadaan budaya ini dalam masyarakat sudah diakui oleh anggota masyarakat dan didukung oleh para fakih (para ahli agama) dengan memberikan legalitas formal yang berupa teks, ajaran dan dogma normative secara kontektual yang berkenaan dengan hal ini sebagai penguat dalam masyarakat, tentunya melalui istinbat hukum dikalangan mereka.
Budaya Walimatussafar semakin berkembang dan exis dalam masyarakat disamping karena tujuan-tujuan mulya yang ada di dalamnya, juga tidak terlepas dari legalitas formal yang berupa teks-teks, ajaran-ajaran dan dogma-dogma normative yang disampaikan oleh para fakih (para ahli agama) atau ulama/kyai sebagai pemimpin non formal dalam masyarakat. Masyarakat yakin dan percaya bahwa para fakih (para ahli agama) pendahulu tidak mungkin mewariskan suatu tradisi budaya kepada anak-cucunya sebuah bid’ah tanpa alasan tertentu.
Kemudian lantaran rumit dan kompleknya situasi yang dihadapi dalam studi Agama, maka pendekatan Antropologis terhadap agama sangat diperlukan untuk memberi wawasan keilmuan yang lebih komprehensif tentang entitas dan substansi agama yang sampai sekarang masih dianggap sangat penting untuk membimbing kehidupan umat manusia baik untuk kehidupan pribadi, komunitas, sosial, politik maupun budaya para penganutnya. Hasil kajian Antropologi terhadap realitas kehidupan konkrit di lapangan ini, diharapkan akan dapat membantu tumbuhnya saling pemahaman antar berbagai paham dan penghayatan keberagamaan yang sangat bermacam-macam dalam kehidupan riil masyarakat Islam baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional.

--------- 00 ---------


[1] Abdul Hasan Ali Al Husni An Nadwi, Pertarungan Alam Pikiran Islam dengan Alam pikiran Barat di Negara-Negara Islam,cet.1 (Bandung: PT. Almaarif, 1965), 176
[2] M. Natsir, Cultuur Islam,cet.1 (Bandung: PendIdikan Islam bag. Penyiaran. 1937), 15
[3] H.A.R. Gibb, Wither Islam, (London : Gollancz, 1932)
[4] Amin Abdillah, Urgensi Pendekatan Antropologi Untuk Studi Agama Dan Studi Islam, dalam portal web site Amin Abdillah : http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/ , 2
[5] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi ( Jakarta : PT Rineka Cipta, 1990), 37
[6] Amin Abdillah, Urgensi Pendekatan Antropologi Untuk Studi Agama Dan Studi Islam, 3
[7] Amin Abdillah, Urgensi Pendekatan Antropologi Untuk Studi Agama Dan Studi Islam, 2
[8] Ibid,. 2
[9] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, 30
[10] Dr.Lexy J. Moleong,MA. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,1990),13
[11] DR. H. Abudin Nata, MA, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2000), 4
[12] Amin Abdillah, Urgensi Pendekatan Antropologi Untuk Studi Agama Dan Studi Islam, 3
[13] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1990), 41
[14] Ibid,.7
[15] Ibid,.8
[16] Ibid,.41
[17] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1990), 41
[18] Amin Abdillah, Urgensi Pendekatan Antropologi Untuk Studi Agama Dan Studi Islam, 3

[19] Amin Abdillah, Urgensi Pendekatan Antropologi Untuk Studi Agama Dan Studi Islam, 3
[20] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1990), 13
[21] Ibid,. 30
[22] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1990), 41

[23] Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (Jakarta : CV Dharma Bakhti, 1980), 165
[24] Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, cet.5 (Jakarta : LP3ES, 1993)
[25] Wawancara dengan H. Mukson usia 80 tahun tentang maksud dan tujuan budaya walimatus safar, 26-10-2012
[26] Diantaranya wawancara dengan KH.Nur Chamid Wonoyoso, KH.Zen Abdillah Kawedusan, KH. Tahrir Faqih Karangkembang, KH. Muntaha Mahfudz Wonoyoso, KH. Nadjib Chamidi Wonoyoso, K. Mutholib Mentaun Buluspesantren, KM. Chamim Tamanwinangun, 25-27 Oktober 2012
[27] Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta : Atlas, 1994),
[28] LTN NU, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Konber Nahdlatul Ulama (1926-1999M),cet.2 (Surabaya : Diantama, 2005)
[29] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet.38 (Bandung : Sinar Baru Algensindo,2005), 247
[30] al-fiqhul wadhih minal kitab wassunnah, juz I, 673
[31] LTN NU, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar,xlix
[32]LTN NU, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar,xlix
[33] Muhammad Ibnu Alan Al-Syafi'i al-Asy'ary, Daliil al-Falihiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar