(Studi Islam
Pendekatan Antropologis )
Atam
Ruba’i Hamid
A.
PENDAHULUAN
Studi
Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies, secara sederhana
dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan
agama Islam, dengan perkataan lain usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui
dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau hal-hal
yang berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah,
maupun praktek-praktek pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.[1]
Usaha
mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan
oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang di luar
kalangan umat Islam. Studi keIslaman dikalangan umat Islam sendiri tentunya
sangat berbeda tujuan dan motifasinya dengan yang dilakukan oleh orang-orang
diluar kalangan umat Islam. Dikalangan umat Islam, studi keIslaman bertujuan
untuk mendalami dan memahami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka
dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar, sedangkan diluar kalangan
umat Islam, studi keIslaman bertujuan untuk mempelajari seluk beluk agama dan
praktek keagamaan yang berlaku dikalangan umat Islam, yang semata-mata hanya
sebagai sebuah ilmu pengetahuan.[2]
Islamic
Studies sebagai
bidang kajian dan penelitian ilmiah menjadikan Alqur’an dan Sunnah sebagai
obyek kajian yang fundamental. Alquran dan Sunnah dikembangkan oleh umat Islam
dalam spektrum seluas-luasnya, prinsip semua ilmu dalam pandangan umat Islam
terdapat dan bersumber dalam Alquran dan Sunnah, Alquran dan Sunnah menciptakan
iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dengan menekankan pada
kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu, pencarian ilmu dalam segi apapun pada
akhirnya bermuara pada penegasan tauhid.
Prof. H.A.R. Gibb dalam bukunya Wither
Islam mengatakan bahwa,”Islam is indeed much more than a system of theology; it
is a complete civilization”, sebuah pengakuan jujur dari seorang
ahli yang tidak dipengaruhi oleh fanatisme
agama, mengatakan bahwa Islam itu sesungguhnya lebih dari sebuah sistem
kepercayaan atau agama saja, Islam adalah satu kebudayaan atau peradaban yang
lengkap.[3]
Agama selalu mencakup
dua entitas yang tidak dapat dipisahkan akan tetapi dapat dibedakan satu sama
lainnya, yaitu normativitas (teks,
ajaran, belief, dogma) dan historisitas (praktik dan pelaksanaan ajaran, teks, belief, dogma tersebut dalam
kehidupan konkrit di masyarakat).[4]
Agama
bukanlah hanya sekedar lambang kesalehan umat atau topik-topik dalam kitab suci
umat beragama, namun lebih dari itu, secara konsepsional kehadiran agama
semakin dituntut aktif untuk menunjukkan cara-cara paling efektif dalam
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Untuk itu,
studi agama - dalam hal ini studi Islam
- bukanlah hanya sekedar pemahaman dengan pendekatan normative, namun juga
harus dilengkapi dengan pendekatan lain yang secara operasional konseptual
dapat memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan umat.[5]
Apabila agama
diletakkan dalam sebuah kerangka penelitian sebagai suatu usaha akademisi, maka ada dua wilayah analisis
dalam agama tersebut yang dapat dijadikan obyek penelitian :[6]
1. Agama sebagai doktrin (normativitas).
Penelitian agama sebagai doktrin
artinya menganalisis apa substansi dari ajaran agama tersebut dan refleksi dari
substansi keagamaan ini, kemudian bagaimana perkembangan pemikiran para pemeluknya
dalam menafsirkan doktrin-doktrin agama tersebut, sehingga penelitian agama
dalam wilayah ini berputar sekitar konsep-konsep dan idea-idea yang bermuara
pada aspek kognitif.
2. Agama sebagai budaya yang telah
termanifestasi dalam dinamika masyarakat, struktur dan perilaku masyarakat (historisitas).
Penelitian
dalam wilayah ini yang dianalisis bukan lagi dari satu konsep kepada konsep
atau satu perkembangan pemikiran kepada perkembangan pemikiran yang lain tetapi
mengukur sejauhmanakah tatanan masyarakat tersebut merupakan pantulan dari
keharusan doktrin agama . Pada wilayah kedua inilah penelitian agama banyak melibatkan
ilmu-ilmu humaniora yang dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial yang lain seperti
sosiologi, antropologi, sejarah dan lain-lain.
Memang
diakui bahwa antara agama dan budaya adalah dua bidang yang berhubungan dan
tidak dapat dipisahkan, akan tetapi keduanya berbeda. Agama bernilai mutlak,
tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun
berdasarkan agama dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.
Sebagian besar budaya didasarkan pada agama, namun tidak pernah terjadi
sebaliknya, agama berdasarkan pada budaya. Oleh karena itu bisa dikatakan agama
adalah primer dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup
keagamaan, karena itu kebudayaan sub ordinat terhadap agama, dan tidak
pernah sebaliknya.[7]
Kemudian lantaran rumit dan
kompleknya situasi yang dihadapi dalam studi Islam, maka pendekatan Antropologis
terhadap agama sangat diperlukan untuk memberi wawasan keilmuan
yang lebih komprehensif tentang entitas
dan substansi agama yang sampai sekarang masih dianggap sangat penting
untuk membimbing kehidupan umat manusia baik untuk kehidupan pribadi,
komunitas, sosial, politik maupun budaya para penganutnya.[8]
Pendekatan antropologis bercorak
deskriptif, melukiskan dan memaparkan apa adanya dari realitas yang ada, dan
bukannya normative. Pendekatan antropologis harus bersikap jujur, apa adanya,
tanpa ada muatan interes-interes atau kepentingan tertentu (golongan, ras, etnis, agam, gender, minoritas-mayoritas)
untuk tidak membuat peta (keagamaan
manusia) apa adanya.[9]
Kerangka studi pendekatan antropologis adalah kebudayaan, sebuah usaha untuk
mengurai kebudayaan atau aspek-aspek kebudayaan.[10]
Dengan demikian, pendekatan
antropologis dalam studi agama, dalam hal ini studi Islam sangatlah diperlukan
untuk memahami suatu obyek secara utuh. Hasil kajian Antropologi terhadap
realitas kehidupan konkrit di lapangan akan dapat membantu tumbuhnya
saling pemahaman antar berbagai paham dan penghayatan keberagamaan yang
sangat bermacam-macam dalam kehidupan riil masyarakat Islam baik pada tingkat
lokal, regional, nasional maupun internasional. Adapun obyek Islam dimaksud
disini adalah Islam yang telah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, Islam
yang telah melembaga dalam kehidupan suku, etnis, kelompok atau bangsa tertentu, Islam
yang telah terinstitusionalisasi dalam kehidupan organisasi sosial,
budaya, politik dan agama, Islam yang terlembaga dalam kehidupan masyarakat
yang menganut madzhab-madzhab, pengikut berbagai
sekte, partai-partai atau kelompok-kelompok kepentingan
tertentu.[11]
Ketika praktik-praktik keagamaan
lokal, sebagai hasil interpretasi para aktor fakih (para ahli agama) di lapangan ketika berjumpa dengan tradisi dan
adat setempat-lokal (local practices), maka disinilah
masalah terbesar, yang memerlukan studi Islam dalam mengkaji dan memberikan
solusi terhadap proses alkulturasi
yang terjadi agar tidak menimbulkan ketegangan dan konflik dalam masyarakat.[12]
Dengan demikian, pendekatan antropologis dalam dalam studi Islam sangatlah
diperlukan keberadaannya, dan Antropologi sebagai ilmu pengetahuan dalam
mencapai kesatuan pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah yang meliputi
pengumpulan fakta, penentuan ciri-ciri umum dan sistem, dan verifikasi.[13]
Berangkat dari uraian di atas, penulis mencoba mengadakan
studi kritis terhadap praktik keagamaan local
- budaya walimatussafar - dalam
bingkai studi Islam dengan pendekatan antropologis untuk mengkaji dan memberi
solusi terhadap budaya walimatussafar. Budaya
ini memang bila ditelusuri secara entitas normativitas (teks, ajaran, belief, dogma), maka dapat dipastikan bahwa dalam
agama Islam tidak dikenal perayaan keberangkatan haji atau walimatussafar, atau dengan kata lain hal ini tidak tersurat dalam
AlQur’an dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun kemudian
apakah segala hal yang tidak tersurat dalam Alqur’an dan tidak dicontohkan oleh
Nabi Muhammad SAW secara otomatis dikatakan dlalah atau sesat?, sementara kalau melihat ritual
dan makna yang terkandung didalamnya mempunyai nilai-nilai adiluhung, nilai-nilai kebaikan dan kemashlahatan.
B.
METODE ILMIAH DARI ANTROPOLOGI
Atropologi sebagai suatu disiplin
ilmu masuk dalam rumpun humaniora. Antropologi berasal dari bahasa Yunani anthropos
yang berarti manusia, dan logos yang berarti ilmu. Koentjaraningrat mendefinisikan
antropologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari umat manusia pada umumnya
dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat, serta kebudayaan yang
dihasilkannya.[14] Kemudian
lebih lanjut, William A. Haviland
mengemukakan bahwa Antropologi merupakan studi tentang umat manusia yang
berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya
untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.[15]
Secara akademik ilmu Antropologi bertujuan untuk mencapai
pengertian tentang mahluk manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna
bentuk fisiknya, masyarakatnya serta kebudayaannya dengan menggunakan metode
ilmiah. Metode ilmiah dari Antropologi sebagai suatu ilmu pengetahuan adalah
segala jalan atau cara dalam rangka ilmu tersebut untuk sampai kepada kesatuan
pengetahuan. Kesatuan pengetahuan ini dapat dicapai melalui tingkatan
pengumpulan data, penentuan ciri-ciri umum dan sistem, dan verifikasi.[16]
Sehingga dapat dipahami bahwa Antropologi adalah studi yang
mempelajari manusia dalam aspek kehidupannya dan dalam hubungannya dengan orang
lain dalam sebuah tatanan masyarakat sehingga menghasilkan pemahaman terhadap
hal-hal yang bersifat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat yang dimaksud. Dari
sinilah maka ilmu Antropologi dibedakan menjadi dua, yaitu Antropologi Biologi (fisik atau ragawi) sebuah ilmu yang
berusaha mempelajari sejarah terjadinya anekawarna mahluk manusia dipandang dari
sudut cirri-ciri tubuhnya, dan Antropologi Budaya yaitu sebuah ilmu
yang berusaha mempelajari kebudayaan
manusia, baik dari segi jasmani, rohani, kejiwaan, sosial maupun budaya yang
berkembang dalam masyarakt.[17]
Adapun cara kerja pendekatan Antropologis
terhadap studi agama, menurut Amin Abdullah setidaknya ada 4 (empat) ciri fundamental yaitu :[18]
Pertama, pendekatan Antropologi bercorak
descriptive. Pendekatan Antropologi bermula dan diawali
dari kerja lapangan (field work), berhubungan dengan
orang, masyarakat, kelompok setempat yang diamati dan diobservasi dalam
jangka waktu yang lama dan mendalam. Inilah yang biasa disebut
dengan thick description (pengamatan dan observasi di lapangan yang dilakukan secara serius, terstuktur,
mendalam dan berkesinambungan), yang dapat dilakukan dengan cara
antara lain Living in , yaitu hidup bersama masyarakat yang
diteliti, mengikuti ritme dan pola hidup sehari-hari mereka dalam waktu
yang cukup lama.
Kedua, yang terpokok dilihat oleh
pendekatan antropologi adalah local
practices , yaitu
praktik konkrit dan nyata di lapangan. Praktik hidup yang dilakukan
sehari-hari, agenda mingguan, bulanan dan tahunan, lebih-lebih ketika manusia
melewati hari-hari atau peristiwa-peristiwa penting dalam menjalani
kehidupan. Ritus-ritus atau amalan-amalan apa saja yang dilakukan untuk
melewati peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan tersebut (rites de
pessages), seperti persitiwa kelahiran, perkawinan, kematian,
penguburan dan apa yang dilakukan oleh manusia ketika menghadapi dan menjalani ritme kehidupan yang sangat penting
tersebut.
Ketiga, pendekatan antropologis selalu
mencari keterhubungan dan keterkaitan antar berbagai domain kehidupan
secara lebih utuh (connections across social domains), seperti bagaimana
hubungan antara wilayah ekonomi, sosial, agama, budaya dan politik.
Karena kenyataannya, hampir-hampir tidak ada satu domain wilayah kehidupan yang
dapat berdiri sendiri, terlepas dan tanpa terkait dan terhubung dengan
lainnya.
Keempat, pendekatan Antropologis bersifat
perbandingan (comparative). Pendekatan antropologis memerlukan
perbandingan dan pembanding dari berbagai tradisi, sosial, budaya dan
agama-agama yang berkembang dalam masyarakat. Talal Asad menegaskan
bahwa :
“What is distinctive about modern anthropology is the comparisons of embedded concepts
(representation) between societies differently located in time or space.
The important thing in this comparative analysis is not their origin (Western
or non-Western), but the forms of life
that articulate them, the power they release or disable.”[19]
Dalam hal ini Cliffort
Geertz pernah memberi contoh dari hasil penelitiannya bagaimana dia
membandingkan kehidupan Islam di Indonesia dan Marokko. Penelitiannya bukan
sekedar untuk mencari kesamaan dan perbedaan, tetapi yang terpokok adalah untuk
memperkaya perspektif dan memperdalam bobot kajian. Pendekatan
Antropologis studi komparatif sangat membantu memberi perspektif baru
baik dari kalangan outsider maupun outsider.[20]
C.
PENDEKATAN ANTROPOLOGIS TERHADAP
BUDAYA WALIMATUSSAFAR
Penelitian pada hakikatnya merupakan
wahana untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha
untuk mengejar kebenaran dilakukan oleh para filosof,peneliti maupun oleh para
praktisi melalui model-model tertentu. Model tersebut biasanya dikenal dengan
paradigma, yaitu kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama,
konsep atau proposisi yang mengarahkan pada cara berpikir dan melakukan
penelitian.[21]
Ada bermacam-macam paradigma, tetapi
yang mendominasi dibidang ilmu pengetahuan diantaranya paradigma ilmiah (scientific paradigm) yang bersumber dari
pandangan positivisme, dan paradigma alamiah (naturalistic paradigm) yang bersumber pada pandangan fenomenologis.
Pandangan fenomenologis berusaha memahami perilaku manusia dari segi kerangka
berpikir maupun bertindak dalam masyarakat terhadap suatu budaya tertentu.
Pandangan fenomenologis mula-mula bersumber dari pandangan Max Weber yang
kemudian diteruskan oleh Irwin Deutcher.[22]
Walimatussafar
merupakan salah satu budaya yang berkembang dalam masyarakat Islam dewasa ini,
khususnya di Indonesia. Budaya ini merupakan sebuah walimah atau upacara
keagamaan yang berkenaan dengan keberangkatan seorang atau lebih dari anggota
masyarakat ketika akan menjalankan ibadah haji ke tanah suci Makkah dan
Madinah. Budaya ini muncul diperkirakan sekitar tahun 1950’an, dan budaya ini
diyakini mengandung banyak nilai-nilai adiluhung,
nilai-nilai kebaikan dan kemashlahatan bagi masyarakat.
Ketika disebut local practices
(praktik-praktik keagamaan local)
sebagai hasil interpretasi para aktor di lapangan ketika berjumpa dengan
tradisi dan adat setempat-lokal, maka disinilah sesungguhnya masalah
terbesar muncul dalam studi Islam. Permasalahan ini dalam studi Islam,
khususnya dari literatur hadis dikenal yang berkenaan dengan istilah bid’ah, baik yang hasanah
maupun sayyiah. Dengan sedikit menyederhanakan, praktik budaya lokal
seringkali dianggap telah keluar dari ajaran Islam yang otentik, sedangkan
menurut Antropolog justru praktik lokal inilah yang harus diteliti dan
dicermati dengan sungguh-sungguh untuk dapat mememahami tindakan dan kosmologi
keagamaan manusia secara lebih utuh.
D.
BUDAYA WALIMATUS SAFAR
Bagi
masyarakat muslim Indonesia, ibadah selalu diperlengkapi dengan berbagai macam
tindakan atau ritual-ritual keagamaan yang menunjang rangkaian-rangkaian ibadah
itu sendiri. Keberadaan rangkaian ritual keagamaan ini sering kali diyakin oleh
masyarakat menjadi penyempurna dari suatu ibadah tersebut. Dan ritual-ritual
keagamaan ini selanjutnya lebih dikenal dengan istilah tradisi local (local practices).
Tradisi local
yang hidup dalam masyarakat tersebut sebagian besar merupakan hasil dari
keterpengaruhan antara budaya local dengan Islam (alkulturasi budaya), atau hasil interprestasi dan pemahaman keagamaan Islam dan
praktiknya di lapangan yang dilakukan oleh para fakih (para
ahli agama). Kita mengenal budaya ngabuburit, kultum, kolak, buka puasa
bersama, mudik dan lain sebagainya di sekitar puasa, kemudian kita juga
mengenal tahlilan, talqin, tujuh hari
dan seterusnya dalam tradisi kematian, begitu juga kita mengenal akhir-akhir
ini budaya Walimatussafar dalam
rangkaian ibadah haji.
Tradisi
walimatussafar tidaklah muncul begitu
saja, ia memiliki sejarah panjang. Sejarah itu menunjukkan bahwa berbagai
tradisi tersebut dilahirkan melalui pemikiran dan perenungan yang dalam oleh
para kyai dan ulama pendahulu melalui berbagai pertimbangan dari aspek sosial, budaya, politik dan agama.
Hal ini merupakan karakter khas Islam di Indonesia yang tidak dimiliki oleh
Islam di negara-negara lain di dunia. Namun apa yang dilakukan para ulam
terdahulu ini, bukanlah sekedar istinbath al-hukmi akan tetapi lebih
dari itu, bahkan menciptakan lahan ibadah tersendiri yang dapat diisi dan dipenuhi
sebagai ladang pahala bagi yang menjalankannya.[23]
Tradisi lokal yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat Islam di Indonesia, erat kaitannya dengan metode
dakwah yang telah dilakukan oleh para wali/sunan di Indonesia pada
periode-periode awal. Metode “Tutwuri Ha
Ngiseni” dalam arti mengikuti dan tidak menghilangkan tradisi yang sudah
ada dalam masyarakat, namun kemudian dimasukkan unsur-unsur ajaran Islam di dalamnya,sehingga kemudian
memunculkan tradisi local yang merupakan buah dari akulturasi budaya yang ada.[24]
Walimatussafar
merupakan sebuah budaya yang masuk dalam rangkaian tradisi local keagamaan yang
mengiring-iringi dalam ibadah haji. Kegiatan ini biasanya berisi silaturahmi, pamitan, permohonan maaf,
permohonan do’a restu dan sekaligus tasyakuran
atas nikmat yang telah diterima sehingga seseorang dapat melaksanakan ibadah
haji ke tanah suci Makkah dan Madinah. Hal ini dilakukan sebagai salah satu
usaha untuk mencapai derajat kemabruran pasca menjalankan ibadah haji, karena
mereka memandang sesuatu tujuan suci dan mulai harus pula diawali dengan suatu
kegiatan pensucian diri.[25]
Silaturahmi dalam arti
budaya walimatussafar dijadikan
sarana berkumpulnya segenap sanak famili, handai tolan dan sahabat untuk saling
bersilaturahmi, Pamitan dalam arti mohon diri karena akan meninggalkan kampung
halaman dan masyarakatnya dalam waktu yang cukup lama. Permohonan maaf, dalam arti peleburan semua kesalahan yang mungkin
terjadi selama berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat baik yang disengaja
maupun tidak. Hal ini dianggaap sangat penting, karena salah satu keyakinan
yang hidup dalam masyarakat bahwa ibadah haji ada kalanya jadi “pengelehan” atas perilaku seseorang
selama hidup dalam masyarakatnya. Permohonan
do’a restu, dalam arti permohonan restu dan do’a keselamatan selama
menjalankan ibadah haji dan sekaligus permohonan keselamatan dan penjagaan atas
keluarga dan harta yang ditinggalkan selama menjalankan ibadah haji. Tasyakuran, dalam arti, ujud rasa syukur
kepada Alloh SWT atas rejeki dan kesempatan yang telah diberikan sehingga dapat
menjalankan ibadah haji. Hal ini berkenaan dengan syarat istito’a dalam babul
hajj yang pemahamannya lebih berorientasi pada kemampuan atas ongkos, biaya
dan harta sehingga berkewajiban haji seseorang.
Budaya walimatussafar
semakin berkembang dan exis dalam
masyarakat disamping karena tujuan-tujuan mulya yang ada di dalamnya, juga
tidak terlepas dari legalitas formal
yang berupa teks-teks, ajaran-ajaran dan dogma-dogma normative yang disampaikan
oleh para fakih (para ahli agama) atau ulama/kyai sebagai
pemimpin non formal dalam masyarakat. Masyarakat yakin dan percaya bahwa para
fakih (para ahli agama) pendahulu tidak mungkin mewariskan suatu tradisi budaya
kepada anak-cucunya sebuah bid’ah tanpa alasan tertentu.
Kemudian bila ditelusuri secara entitas normativitas (teks, ajaran, belief, dogma), maka dapat
dipastikan bahwa dalam agama Islam memang tidak dikenal perayaan keberangkatan
haji ini atau walimatussafar, atau dengan
kata lain hal ini tidak tersurat dalam Alqur’an dan tidak pernah dicontohkan
oleh Nabi Muhammad SAW. Namun tidaklah segala hal yang tidak tersurat dalam Alqur’an
dan tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW secara otomatis dikatakan dlalah
atau sesat, karena budaya yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat diyakini mempunyai dan mengandung nilai-nilai adiluhung, kebaikan dan kemashlahatan
bagi kehidupan. Walaupun sebagian banyak tradisi tersebut merupakan hasil dari
keterpengaruhan antara budaya local dengan Islam (alkulturasi budaya), atau hasil interprestasi dan pemahaman
keagamaan Islam dan praktiknya di lapangan yang dilakukan oleh para
fakih (para ahli agama)
Ketidakadaan dalil syar’i dalam Alqur’an dan Sunnah secara
tekstual bukan berarti budaya Walimatussafar
keberadaannya dalam masyarakat menjadi lemah dan tanpa dasar apapun. Hal ini karena
keberadaan budaya ini dalam masyarakat sudah diakui oleh anggota masyarakat dan didukung oleh para fakih
(para ahli agama) dengan memberikan legalitas formal yang berupa teks, ajaran dan dogma normative
secara kontektual yang berkenaan dengan hal ini sebagai penguat dalam
masyarakat, tentunya melalui
istinbat hukum dikalangan mereka.
Adapun dasar-dasar legalitas
formal yang berkembang dalam masyarakat menurut beberapa tokoh agama dan
masyarakat,[26] baik
yang merujuk pada Alqur’an, sunnah,
Ijma’, Qiyas maupun Istihsan dan
lain sebagainya, diantaranya :
1. Alqur’an
surat Ibrohim ayat 7,
Artinya : Dan (ingatlah
juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".[27]
Walimatus sawar dianggap cara untuk mengungkapkan rasa
syukur kepada Alloh SWT atas nikmat dan kesempatan yang telah diberikan sehingga
bisa menjalankan ibadah haji, dalam tiga dimensi sekaligus yaitu syukur bil lisan, bil qolbi dan bil arkan.[28] Dan masyarakat
juga menyakini bahwa ibadah haji adalah “timbalan” dari Alloh SWT, maka
sudah semestinya harus disyukuri agar senantiasa ditambah nikmat-nikmatnya oleh
Alloh SWT.
Disamping itu, masyarakat
juga menyakini bahwa seberapa besar biaya ibadah hari (ONH dan biaya
lain-lainnya) pasti akan dikembalikan oleh Alloh SWT, sehingga mereka tidak
merasa “eman-eman” dalam hal ini. Dalil syar’i yang mendukung dan
berkembang dalam masyarakat mengenai hal itu diantaranya sabda Rosululloh SAW,[29]
النفقة
فى الحج كالنفقة فى سبيل الله الدرهم بسبع مائة ضعف رواه احمدوالترمذى
2. Sunnah
/ Hadits
عن جابر بن عبدالله رضى الله عنهما أن
النبي صلى الله عليه وسلم لماقدم المدينة نحر جزورا اوبقرة (صحيح
البخارى, باب الطعم عند القدوم)
Artinya: hadits diceritakan oleh Jabir bin
Abdullah ra. Bahwa ketika Rasulullah saw datang ke madinah (usai melaksanakan
ibadah haji), beliau menyembelih kambing atau sapi (Shahih Bukhari, babut
Ta’mi indal qudum)
3. Sumber-sumber
lain, diantaranya :
a. Keterangan dalam al-Fiqhul Wadhih,
يستحب
للحاج بعد رجوعه الى بلده ان ينحر جملا او بقرة او يذبح شاة للفقراء والمساكين
والجيران والاخوان تقربا الى الله عزوجل كمافعل النبي صلى الله عليه وسلم
Artinya: Disunnahkan
bagi orang yang baru pulang haji untuk menyembelih seekor onta atau sapi atau
kambing untuk diberikan kepada faqir, miskin, tetangga, saudara. Hal ini
dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt seperti yang dilakukan
Rasulullah saw.[30]
b. Kaidah Ushul Fiqh:
المصلحة دليل شرعي مستقل عن النصوص
Artinya :
Kepentingan umum adalah dalil syari’i yang kehujjahannya mandiri tak tergantung
pada konfirmasi teks atau nash.[31]
استقلال
العقول باء
دراك المصالح والمفاسد دون التعلق بالنصوص
Artinya :
Akal mempunyai otoritas untuk menentukan baik bruruk (mashalih-mafasid) tanpa
tergantung pada teks.
مجال
العمل بالمصلحة هو المعاملة و العادة دون العبادات
Artinya :
Lapangan pemberlakuan “kepentingan umum” adalah bidang hubungan antar manusia
dan tradisi, bukan dalam bidang ibadah mahdhah.[32]
Kemudian setelah kita memahami profil secara utuh tentang walimatussafar
ini, lantas pantaskah kita dengan serta merta menyebut, mengidentikkan dan menyakini
bahwa perbuatan ini dikatakan bid'ah dan oleh karena itu maka diharamkan
dalam agama?.
Untuk mengurai masalah ini tersebut di atas, maka studi agama
dengan pendekatan Antropologis mencoba menggali data dan fakta melalui :
1.
Tinjauan Agama dan Sejarah
Bila ditelusuri secara
literal, dapat dipastikan bahwa dalam agama Islam memang tidak dikenal perayaan
keberangkatan haji ini, apalagi menggunakan istilah walimah, atau dengan
kata lain hal ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun disisi
lain, kalau melihat ritual acaranya sendiri jelas di dalamnya terkandung
nilai-nilai adiluhung, nilai-nilai kebaikan dan kemashlahatan bagi
pelaku dan masyarakat. Dilihat dari sisi sejarah, ritual walimatussafar
masih terbilang muda, namun sesungguhnya embrio ritual ini sendiri sudah begitu
mengakar dalam masyarakat beribu tahun yang lalu.
2.
Tinjauan Budaya dan Nilai Ibadah
Bagi siapapun
utamanya calon haji , menjadi tamu Alloh SWT atau “mendapat undangan haji”
tentulah merupakan kesempatan yang
langka dan penuh kesan bahagia bagi pelakunya tersendiri. Momen ini amatlah
istimewa, mengingat untuk mendaftar dan menunggu mendapat porsi sampai dengan
keberangkatanya saja membutuhkan sedikitnya 5 sampai dengan 10 tahun, sebuah masa
penantiaan yang amat panjang. Begitu
istimewa dan sakralnya ibadah ini, maka para calon haji sebelum bertamu dan memenuhi
undangan Allah SWT berusaha terlebih dahulu membersihkan diri lahir dan bathin
dalam dimensi agama, social dan masyarakat. Dan sangatlah tidak mungkin pembersihan diri (permohonan maaf)
dalam dimensi di atas dilakukan oleh calon haji home to home pada semua
sanak kerabat, handai tolan dan sahabatnya mengingat waktu dan tenaga yang sangat
terbatas. Untuk itu guna menghindari timbulnya kesulitan yang lebih besar serta
didorong oleh motif (i'tikad) yang baik untuk mengadakan silaturahmi dan
ta'aruf maka digelarlah acara yang kemudian populer dengan istilah Walimatus
Safar.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kegiatan yang
jelas-jelas menurut akal sehat merupakan amalan baik ini kemudian dikatakan
bid'ah dan sesat? Tentu tidak bijaksana bila kita menganggap ini terlarang
dilakukan. Budaya walimatussafar itu merupakan budaya yang baik, budaya
ini berada di luar rangkaian ibadah haji oleh karenanya bukan kesatuan yang
terikat oleh rangkaian ibadah haji itu sendiri maka tidak dapat dikatakan
satuan ibadah tersendiri, namun demikian menjadi amal yang bernilai ibadah.
Karena di budaya walimatussafar ini terkandung muatan silaturahmi, permohonan
maaf , pamitan, permohonan doa restu, tasyakuran bahkan ada kalanya dilengkapi
pula dengan santunan anak yatim, taushiyah agama, sodakoh dan kebaikan-kebaikan
lainnya. Bukankah semua yang mencakup
hal kebaikan yang diridlai Allah adalah mempunyai nilai ibadah ?. Hal ini sebagaimana
dikatakan oleh Muhammad Ibnu Alan Al-Syafi'i al-Asy'ary :[33]
العبادة كل اسم جامع لما يحبه الله و يرضاه
Artinya : Ibadah adalah semua hal yang
mencakup apa yang disukai dan diridlai Allah
Adanya budaya walimatussafar dalam masyarakat
seakan-akan sudah menjadi suatu kebutuhan, dan apa bila ditinggalkan justru akan
mengurangi nilai-nilai yang terkandung dalam rangkaian ritual haji bagi si
pelaku khususnya. Alangkah lucunya manakala masyarakat, sanak kerabat dan
handai taulan kehilangan anggotanya selama 40 hari tanpa pamitan (main
slonong saja) - ternyata sedang melaksanakan haji - tentu kesannya akan
sangat berbeda baik bagi si pelaku
maupun masyarakat. Disamping itu, budaya walimatussafar ini juga dapat
digunakan sebagai alat untuk memotifasi masyarakat dalam mengamalkan
ajaran-ajaran Islam, terutama ibadah haji. Sehingga cepat atau lambat, disadari
atau tidak disadari budaya walimatussafar ini akan menjadi suatu
kebutuhan kolektif, dan dengan sendirinya akan menjadi tradisi budaya yang
mengakar dalam masyarakat Indonesia.
E.
PENUTUP
Agama
dan budaya adalah dua bidang yang berhubungan dan tidak dapat dipisahkan, akan
tetapi keduanya berbeda. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan
waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama dapat berubah
dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan
pada agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, agama berdasarkan pada budaya.
Oleh karena itu bisa dikatakan agama adalah primer dan budaya adalah sekunder.
Ketika praktik-praktik keagamaan lokal,
sebagai hasil interpretasi para aktor fakih (para ahli agama) di lapangan
ketika berjumpa dengan tradisi dan adat setempat/lokal (local practices),
maka disinilah masalah terbesar, yang memerlukan studi Islam dalam
mengkaji dan memberikan solusi terhadap proses alkulturasi yang terjadi antara agama dan tradisi/budaya, agar
tidak menimbulkan ketegangan dan konflik dalam masyarakat yang plural dan majemuk.
Walimatussafar merupakan
sebuah budaya yang masuk dalam rangkaian tradisi local keagamaan (local practices) yang
mengiring-iringi dalam ibadah haji. Kegiatan ini biasanya berisi silaturahmi, pamitan, permohonan maaf,
permohonan do’a restu dan sekaligus tasyakuran
atas nikmat yang telah diterima sehingga seseorang dapat melaksanakan ibadah
haji ke tanah suci Makkah dan Madinah. Hal ini dilakukan sebagai salah satu
usaha untuk mencapai derajat kemabruran pasca menjalankan ibadah haji, karena
mereka memandang sesuatu tujuan suci dan mulai harus pula diawali dengan suatu
kegiatan pensucian diri.
Ketika disebut local practices (praktik-praktik keagamaan local) sebagai
hasil interpretasi para aktor di lapangan ketika berjumpa dengan tradisi dan
adat setempat-lokal, maka disinilah sesungguhnya masalah terbesar muncul
dalam studi Islam. Permasalahan ini dalam studi Islam, khususnya dari literatur
hadis dikenal yang berkenaan dengan istilah bid’ah, baik yang hasanah
maupun sayyiah. Dengan sedikit menyederhanakan, praktik budaya lokal
seringkali dianggap telah keluar dari ajaran Islam yang otentik, sedangkan
menurut antropolog justru praktik lokal inilah yang harus diteliti dan
dicermati dengan sungguh-sungguh untuk dapat mememahami tindakan dan kosmologi
keagamaan manusia secara lebih utuh.
Walimatussafar merupakan salah
satu budaya yang berkembang dalam masyarakat Islam dewasa ini, khususnya di
Indonesia. Budaya ini merupakan sebuah upacara keagamaan yang berkenaan dengan
keberangkatan seorang atau lebih dari anggota masyarakat ketika akan menjalankan
ibadah haji ke tanah suci Makkah dan Madinah. Budaya ini muncul diperkirakan sejak
tahun 1970’an, namun embrio budaya ini sudah sekian lama tertanam dalam rahim
masyarakat karena diyakini mengandung banyak nilai-nilai kebaikan.
Ketidakadaan dalil syar’i dalam Alqur’an dan Sunnah secara
tekstual bukan berarti budaya walimatussafar
keberadaannya dalam masyarakat menjadi lemah dan tanpa dasar apapun. Hal ini
karena keberadaan budaya ini dalam masyarakat sudah diakui oleh anggota masyarakat dan didukung oleh para fakih
(para ahli agama) dengan memberikan legalitas formal yang berupa teks, ajaran dan dogma normative
secara kontektual yang berkenaan dengan hal ini sebagai penguat dalam
masyarakat, tentunya melalui
istinbat hukum dikalangan mereka.
Budaya Walimatussafar
semakin berkembang dan exis dalam
masyarakat disamping karena tujuan-tujuan mulya yang ada di dalamnya, juga
tidak terlepas dari legalitas formal
yang berupa teks-teks, ajaran-ajaran dan dogma-dogma normative yang disampaikan
oleh para fakih (para ahli agama) atau ulama/kyai sebagai
pemimpin non formal dalam masyarakat. Masyarakat yakin dan percaya bahwa para
fakih (para ahli agama) pendahulu tidak mungkin mewariskan suatu tradisi
budaya kepada anak-cucunya sebuah bid’ah tanpa alasan tertentu.
Kemudian lantaran rumit dan kompleknya situasi yang dihadapi dalam
studi Agama, maka pendekatan Antropologis terhadap agama sangat diperlukan untuk memberi
wawasan keilmuan yang lebih komprehensif tentang entitas dan substansi agama yang sampai sekarang masih dianggap
sangat penting untuk membimbing kehidupan umat manusia baik untuk
kehidupan pribadi, komunitas, sosial, politik maupun budaya para
penganutnya. Hasil kajian Antropologi terhadap realitas kehidupan konkrit di
lapangan ini, diharapkan akan dapat membantu tumbuhnya saling pemahaman
antar berbagai paham dan penghayatan keberagamaan yang sangat
bermacam-macam dalam kehidupan riil masyarakat Islam baik pada tingkat lokal,
regional, nasional maupun internasional.
--------- 00 ---------
[1] Abdul Hasan Ali Al Husni An
Nadwi, Pertarungan Alam Pikiran Islam dengan Alam pikiran Barat di
Negara-Negara Islam,cet.1 (Bandung: PT. Almaarif, 1965), 176
[2] M. Natsir, Cultuur Islam,cet.1
(Bandung: PendIdikan Islam bag. Penyiaran. 1937), 15
[3] H.A.R. Gibb, Wither
Islam, (London : Gollancz, 1932)
[4] Amin Abdillah, Urgensi
Pendekatan Antropologi Untuk Studi Agama Dan Studi Islam, dalam portal
web site Amin Abdillah : http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/ , 2
[5] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi ( Jakarta : PT Rineka Cipta, 1990), 37
[6] Amin Abdillah, Urgensi
Pendekatan Antropologi Untuk Studi Agama Dan Studi Islam, 3
[7] Amin Abdillah, Urgensi
Pendekatan Antropologi Untuk Studi Agama Dan Studi Islam, 2
[8] Ibid,. 2
[9] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi, 30
[10] Dr.Lexy J. Moleong,MA. Metodologi Penelitian Kualitatif
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,1990),13
[11] DR. H. Abudin
Nata, MA, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,
2000), 4
[12] Amin Abdillah, Urgensi Pendekatan
Antropologi Untuk Studi Agama Dan Studi Islam, 3
[13] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta : PT
Rineka Cipta, 1990), 41
[14] Ibid,.7
[15] Ibid,.8
[16] Ibid,.41
[17] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta : PT
Rineka Cipta, 1990), 41
[18] Amin Abdillah, Urgensi
Pendekatan Antropologi Untuk Studi Agama Dan Studi Islam, 3
[19] Amin Abdillah, Urgensi
Pendekatan Antropologi Untuk Studi Agama Dan Studi Islam, 3
[20] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif
(Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1990), 13
[21] Ibid,. 30
[22] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta : PT
Rineka Cipta, 1990), 41
[23] Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (Jakarta : CV
Dharma Bakhti, 1980), 165
[24] Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi,
cet.5 (Jakarta : LP3ES, 1993)
[25] Wawancara dengan H. Mukson usia
80 tahun tentang maksud dan tujuan budaya walimatus safar, 26-10-2012
[26] Diantaranya wawancara dengan KH.Nur Chamid Wonoyoso, KH.Zen Abdillah
Kawedusan, KH. Tahrir Faqih Karangkembang, KH. Muntaha Mahfudz Wonoyoso, KH.
Nadjib Chamidi Wonoyoso, K. Mutholib Mentaun Buluspesantren, KM. Chamim
Tamanwinangun, 25-27 Oktober 2012
[28] LTN NU, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas
dan Konber Nahdlatul Ulama (1926-1999M),cet.2 (Surabaya : Diantama, 2005)
[33] Muhammad Ibnu Alan Al-Syafi'i
al-Asy'ary, Daliil al-Falihiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar